Tangan kugenggam erat, menghalangi angin yang kian merambat. Kata perkata yang baru saja kudengar menciptakan kebut gelisah.
Aku masih gadis, usiaku masih belia untuk memahami keadaan yang tengah mendesakku.
Bukan atas uang atau jabatan, bukan pula demi tahta dan martabat, sebuah jasa yang tak akan terbayar hingga nafas ini terhenti.
"Saat dia pulang nanti, kalian bisa kenalan dulu."
Kalimat itu disampaikan tepat dimalam dingin dengan hujan mengguyur tanpa hentinya.
"Hasna, kamu mau kan? "
Itu tanya seorang ibu, ibu yang menghadiahi nyawa demi keselamatanku
Mbak Alin, anak sulung ibu Alawiyah kembali berbicara.
"Pras sudah mengenalimu, Mbak mengirimkan fotomu."
Prasaja Sutanto, anak dari bu Alawiyah yang menetap di luar negeri.
Asal masalah berpunca dari laki-laki 35 th itu. Laki-laki yang sudah menikah selama 10 tahun, dan belum dikaruniai keturunan.
Delapan tahun hidup dalam naungan keluarga sutanto, baru kali ini mereka meminta sesuatu dariku.
Adakah cara lain, agar keinginan beralasan penting itu tidak dilaksanakan?
selain jalan pernikahan Apakah tidak ada?
Sekalipun lajang, aku tidak ingin berhubungan dengan laki-laki yang sudah kuanggap saudara meskipun kami belum pernah sekalipun bertemu, apalagi laki-laki itu sudah menikah.
Ya Tuhan, nuraniku bergejolak, baru kemarin aku merayakan kelulusan SMA, kenapa hari ini harus di hadapkan pada masalah yang tak pernah terlintas dibenakku?
"Hasna, apa terlalu berat untukmu?"
Mataku mengerjap, namun tak ada satu pun kata yang terucap dari bibirku kala ibu bertanya.
Aku tidak tahu, kepentingan apa hingga aku yang dipilih, banyak wanita diluar sana yang layak dan bisa melakukan itu. Kenapa harus aku?
"Ibu tidak akan mengorbankan masa depanmu, karena Ibu sudah menyiapkan sebaik mungkin."
Iya, aku hanya perlu menikah, dan melahirkan keturunan Sutanto.
"Kamu bisa melanjutkan pendidikan-mu nanti." mbak Alin meyakinkan.
Bukan menolak karena pendidikanku tertunda, melainkan pada nuraniku yang meronta akan sebuah rencana yang sangat bertolak belakang dengan hatiku.
Suami orang, aku harus menikah dan tidur dengannya, setelah itu, aku pergi atas jaminan yang disediakan ibu.
Seorang anak yang kulahirkan, untuk menutupi sebuah praduga keluarga besar sang ibu.
Ibu menggadaikan nyawa untukku, Mbak Alin yang merawatku selama 3 tahun hingga aku pulih total tanpa cacat. sementara kedua kaki ibu harus di amputasi, dan harus berakhir di kursi roda.
Lantas alasan apa yang pantas kulontarkan agar bisa menolak permintaannya?
"Baiklah." mataku terpejam, memaksa butiran yang sedari tadi menggantung. "Kapan beliau pulang?"
"Pras mengambil penerbangan besok pagi"
Besok pagi, begitu kata Mbak Alin.
Kemungkinan, lusa aku akan bertemu laki-laki yang tak pernah kukenali namun sudah kuanggap seperti saudara.
"Satu minggu cukup untuk saling mengenal?"
Tugasku hanya melahirkan seorang anak, apakah perlu berkenalan dulu? Bukankah lebih cepat akan lebih baik?
Seolah mengerti jalan pikiranku, Mbak Alin mengatakan sebuah fakta yang mungkin harus aku ketahui.
"Pras tipe laki-laki perfect, dan akan menuntut kesempurnaan mu".
Selama delapan, tahun aku cukup mengenal Mbak Alin, beliau tipikal wanita yang berbicara langsung keinti tanpa memojokkan lawan.
"Waktu satu minggu mungkin saja jalan satu bulan".
Aku mengerti akan melakukan sebaik mungkin mempersiapkan diri sehebat mungkin dihadapan laki-laki yang akan menitip benih keturunannya.
"Mas Pras, mari kita selesaikan dengan cepat."
💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupinjamkan Rahimku (Tamat-cerita Lengkap Di PDF)
RomanceDiharuskan menikah dengan laki-laki yang sudah kuanggap sebagai kakak, untuk melahirkan seorang anak, menutupi aib seorang wanita yang telah dinikahinya sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu, aku bisa pergi. Ya, aku harus pergi setelah menunaikan kew...