[ 12 ]

1K 197 36
                                    

Hari ini adalah hari keberangkatan Xiaojun ke Singapura. Setelah memasukkan semua barang di bagasi mobil, Kun memeluk Xiaojun lagi, entah sudah yang keberapa kali. “saat sampai, jangan lupa telepon. Jika tak cocok dengan makanan disana, bilang padaku,” ujar Kun.

“sudah seratus kali kau bilang seperti itu,” ujar Ten sambil menutup pintu bagasi mobil.

“aiya, harus disampaikan dengan jelas. Sudah, cepat pergi, jangan sampai terlambat.”

Sebelum masuk ke dalam mobil, Xiaojun pun memandangi sebentar kedai mie dan rumah. “pa, kalian di rumah baik-baik ya,” ujar Xiaojun.

“iya. Kau juga disana jaga kesehatan. Ten, hati-hati bawa mobilnya. Jangan terburu-buru. Sampai jumpa ya,” Kun terus memandangi mobil berwarna hitam itu sampai hilang dari pandangan matanya. Sejujurnya, hatinya belum siap, menghadapi perpisahan, yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Semuanya terlalu tiba-tiba.

Malam harinya. Kun menghubungi Yangyang. Si bungsu itu pergi ke rumah neneknya tanpa izin kemarin. “Yangyang, besok Lucas-ge akan pergi. Kau tak ingin mengantarnya?” tanya Kun. Di balik pintu kamarnya, Lucas hanya diam mendengarkan.

“kau ini kenapa keras kepala sekali? Kau ingin memutuskan hubungan dengan kedua kakakmu hah?” Kun mendesah lelah karena Yangyang mematikan sambungan teleponnya.

Ceklek! Winwin keluar dari kamar, menghampiri Kun dan duduk di sebelahnya. Ia menarik napas sejenak. “pa, aku dapat tawaran pekerjaan di studio seni pahat tetapi tempatnya di kota Dongguan—” Winwin berhenti sejenak, menunggu reaksi dari sang papa. “tak apa jika papa tak mengizinkan, aku tak akan pergi.”

Kun mengulas senyum tipis. “pergilah jika kau ingin. Papa sudah memiliki pegawai di kedai, jadi tak perlu khawatir. Lagi pula Dongguan dekat dari sini, bisa menempuh perjalanan dengan kereta atau mobil.”

Winwin mengangguk senang. “tenang saja, pa. Aku akan selalu berkunjung di akhir pekan. Terimakasih pa.”

“iya iya. Kapan akan berangkat?” tanya Kun.

“mungkin besok lusa,” jawab Winwin.

***

Keesokannya.

“pa, aku berangkat ya,” Lucas memeluk Kun.

Kun pun membalas pelukan Lucas. Tangannya mengusap punggung lebar milik sang anak. “jaga kesehatan. Tak merasa cocok dengan makanannya, bilang padaku, akan ku kirimkan. Di pesawat dingin, nanti minta selimut ya.”

“aiya...” Ten menunjuk jam tangannya, memperingatkan Kun jika waktu semakin menipis.

“ah sudah sudah, cepat pergi, nanti terlambat. Jangan lupa telepon saat sudah sampai. Ten, bawa mobilnya hati-hati!”

Dua anak sudah Kun lepaskan pergi ke dunia luar. Besok lusa, giliran Winwin pergi ke Dongguan dan Hendery pergi ke Beijing. Saat dewasa, anak-anak pada akhirnya akan meninggalkan juga. Seharusnya ia dapat mengerti, jika keempat anaknya tak akan terus dalam naungannya. Pasti ada waktu dimana mereka semua lepas dari genggamannya, dan menghadapi dunia sendiri.

Kun masuk ke dalam rumah, dan mendapati Hendery tengah memandangi pajangan foto-foto yang ada di ruang tamu. “tak terasa kalian sudah bertumbuh dewasa,” ujar Kun. Hendery yang tak tahu dengan kehadiran Kun, cukup terkejut tadi.

“pa, kau mengagetkanku.”

Kun hanya terkekeh.

“pa, aku ingin bertanya sesuatu,” Hendery duduk di kursi, begitu juga Kun.

“bertanya tentang apa?”

Hati Hendery sangat dipenuhi keraguan. Tetapi tetap saja, sepertinya hal yang mengganggu pikirannya belakangan ini, harus segera mencapai titik terang. “pa, apa kau pernah merasa aku dengan Lucas memiliki hubungan? Marga kami sama-sama Huang. Dulu, ayahku membawaku pada nenek dan ibu membawa saudaraku. Apa kau pernah terpikirkan sesuatu?”

Kun terdiam sebentar. Mencoba memahami perkataan Hendery. “saat nenek Feng pindah kemari, dia sudah datang membawamu. Aku juga kurang mengerti..”

“Huang Junjie memang tak tahu diri. Dulu, saat kami berpisah, dia membawa anak dari adikku yang ia hamili, dan sekarang malah sangat menginginkan Lucas.”

Ujaran He Mei waktu itu berhasil terekam di otaknya. “He Mei pernah bilang, Huang Junjie itu membawa anak dari adiknya yang Junjie hamili—”

“apa kalian berdua memang bersaudara? Kenapa kondisinya bisa sangat mirip?” ujar Kun, masih dilanda kebingungan.

“ah sudahlah pa, tak penting juga. Mungkin hanya kebetulan. Oh ya, saat aku di Beijing, jangan sesekali mengirim uang ya. Aku mendapat beasiswa penuh, biaya kebutuhan sehari-sehari dapat dari kampus. Kau tak perlu khawatir.”

Kun mengangguk mengiyakan. Ia memandang keluar jendela dan menghembuskan napas berat. “kalian semua pergi, rumah ini akan sepi. Aku juga pasti akan merindukan kalian.”

“tenang, pa. Jika libur, aku akan pulang.”

***

( sangat wajib untuk diputar //maksa)

= Hari keberangkatan Winwin dan Hendery =

Winwin dan Hendery memeluk erat tubuh sang ayah. “Winwin, saat sibuk bekerja jangan lupa untuk telepon aku. Jangan begadang, jangan sampai lupa makan, kesehatanmu itu yang lebih penting,” ujar Kun.

Winwin hanya mengangguk. “iya, pa.”

Kun beralih pada Hendery. “kau juga. Jaga kesehatan, sering-sering hubungi rumah. Jika tak napsu makan, hubungi aku, aku kirimkan makanan kesukaanmu.”

“iya, pa. Kau juga harus jaga kesehatan. Hubungi aku jika Yangyang sudah pulang,” ujar Hendery.

“sudah pa, kami berangkat. Sampai jumpa,” Winwin dan Hendery melambai sebentar, lalu masuk ke dalam mobil.

Dari Xiaojun, Lucas, Winwin, sampai Hendery. Sejauh apapun mereka pergi, yang Kun tahu; anak-anaknya tak akan lupa dengan rumah sendiri. Kini, tersisa anak naga yang terakhir, Yangyang. “HATI-HATI! JANGAN LUPA UNTUK PULANG YA!!! AKU MENUNGGU!” teriak Kun entah ditunjukkan untuk siapa.

***

HSHSHSHS MAKIN GAK JELAS IH :(

JANGAN LUPA VOTE YAW!

THANK YOU FOR READING!

LOVE YOUUUU!!

Family | WayV ( ✔ ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang