Netra hitam itu menyorot begitu teduh kepada sosok gadis yang berdiri di lapangan. Senyuman kecilnya terbit begitu saja ketika melihat gadis itu yang tengah marah-marah pada teman sekelasnya.
Pandangannya kemudian turun pada botol mineral di tangannya dan memperhatikan siswa yang berlalu lalang di lantai tiga.
"Sat," panggilnya membuat siswa bernama Satria yang merupakan teman sekelasnya itu menoleh padanya.
"Apa?"
"Mau ke bawah?"
"Hooh, mau ke kantin."
Cowok itu terdiam sebentar sebelum akhirnya menyerahkan botol mineral pada Satria membuat Satria menaikkan sebelah alisnya. "Lagi?" tanya Satria yang mendapat anggukan sebagai jawaban.
"Aldo, Aldo." Satria menggeleng heran sementara cowok bernama Aldo itu mendengkus pelan. "Nggak akan ada yang berubah kalau lo cuma ngandalin gue," ujar Satria lagi dengan tawa kecilnya.
"Lo cuma perlu kasih ke dia, bukan protes," sahutnya dengan kesal.
"Kalau gue nggak mau?"
Cowok bernama Aldo itu menatap dingin pada Satria. "Gue bakal berhenti ngasih jawaban ke lo."
Satria tergelak, "Anjay, gara-gara ciwik, eh? Mana ngancamnya horor lagi. Gue pergi," pamit Satria membuat Aldo bergumam di tempatnya.
Aldo mengusap hidungnya yang tidak gatal sembari memperhatikan langkah Satria menuju sosok gadis yang menjadi tujuannya. Ketika botol mineral itu sudah sampai di tangan gadis itu, ia mendongak menatap lurus pada langit biru. Waktu cepat sekali berlalu dan perasaan itu tidak pernah menghilang barang sedikit pun.
"Aletta Anaya," gumamnya amat pelan kemudian berjalan menuju kelasnya.
Sementara itu di tengah lapangan, gadis dengan rambut panjang itu menatap botol mineral di tangannya tanpa ekspresi. Bola matanya mengedar ke sekeliling namun tidak menemukan siapa pun yang mencurigakan. Cowok yang bernama Satria tadi tidak mau memberitahunya.
"Nyebelin!" ungkapnya seraya membuka tutup botol tersebut dan meneguknya hingga tersisa setengah. Gadis itu beralih duduk di pinggir lapangan seraya mengusap keringatnya yang telah membanjiri keningnya akibat membersihkan lapangan sekaligus mengomel tanpa henti. "Ini yang inisiatif ngasih gue minum siapa coba? Dah lah resiko orang cantik emang gini."
"Bagi minum, mbak." Gadis itu menoleh pada cowok yang berdiri di depannya. Memutar bola mata malas, ia memilih menyembunyikan botol itu ke belakang membuat cowok bernama Dandi itu mendengkus. "Bagi ya elah, pelit bat lo."
"Ini punya gue ya!" hardiknya kesal. "Jadi terserah gue lah mau ngasih apa enggak!"
"Dih?" Dandi mendelik. "Gue tandai muka lo Aletta."
Gadis bernama Aletta itu menggembungkan pipi kesal lalu memberi botol minumnya dengan perasaan tidak rela. "Jangan habisin tapi," ujarnya membuat Dandi menerimanya dengan senyuman yang mengembang.
"Gomawo."
"Gimiwi," cibir gadis itu kemudian merampasnya kembali dari tangan Dandi dan berlalu dari sana menuju gerombolan kelasnya yang berada tidak jauh darinya.
***
Siang itu gerimis turun membasahi bumi. Kawasan SMA PANCASILA masih terlihat sangat ramai di depan ruangan kelas. Gerimis yang berjatuhan ditambah dengan kilau cahaya matahari membuat penghuni sekolah harus berpikir dua kali untuk menerobos gerimis tersebut.
"Gini nih! Giliran bawa payung aja cuaca secerah hati gue! Giliran cuaca kayak gini malah tinggal segala! Sil?! Lo bawa payung?!" Suara melengking milik Aletta membuat sahabatnya bernama Asilla itu mendengkus kesal.
"Gue gak bawa."
"Mending mati aja Sill kalau gak guna," sarkas Aletta seraya mengulurkan tangannya untuk menoyor kening Asilla.
"Siapa yang tau kalau sekarang bakal gini? Tadi pagi aja cerah."
Aletta mengembuskan napas panjang. Ia melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Sudah terhitung sejak satu jam yang lalu mereka menunggu hingga berdesak-desakan dengan siswa lainnya.
"Mama!!!" Aletta berteriak kencang ketika seseorang mendorongnya dari belakang hingga membuat air gerimis menyentuh kulitnya. Bola matanya melotot sempurna ketika pelakunya adalah Dandi dan kedua sahabatnya yakni Rafael dan Yeremi.
"Rasain! Ngomel-ngomel mulu sih," celutuk Rafael.
Dada Aletta naik turun. Gadis itu melipat lengan kemejanya kemudian berjalan menghampiri Rafael dan menahan pergelangan cowok itu yang tampak ingin melarikan diri. "Gue basah loh, kalau besok gue sakit, lo mau tanggung jawab? Atau paling enggak, lo mau ngerjain tugas gue hah?!"
"Nyingkir Let, kita dilihatin. Malu ey," ujar Rafael namun Aletta tidak menggubris.
"Bagi uang!"
"Uang?"
"Hm."
"Anjir. Pemerasan nih pemerasan," kata Rafael kesal.
"Abang gue kemungkinan gak jemput Raf. Tadinya gue mau nunggu tapi karena baju gue basah makanya gue mutusin buat naik angkot. Ongkosin dong," pinta Aletta seraya mengerjap pelan.
"Gak!" Rafael menolak. "Gue gak punya uang hey!"
"Lo lihat muka gue."
"Udah."
"Apa lo pikir gue peduli? Mana uangnya?!"
Asilla menutup wajahnya malu ketika Aletta dan Rafael menjadi sorotan. Kedua remaja itu bahkan tidak memperdulikan keadaan sekitar yang sangat ramai.
Rafael cemberut, merogoh sakunya seolah membenarkan ucapannya bahwa dia tidak memiliki uang.
"Tanggung jawab Raf! Pokoknya tanggung jawab! Baju gue basah. Terus kalau nanti gue sakit, siapa yang bakal tang---"
"Berisik."
"Lo yang beris--- Aldo?!" Aletta terperanjat kaget ketika melihat sosok Aldo yang berdiri di sampingnya. Ia menendang betis Rafael membuat cowok itu meringis pelan.
"Awas. Kalian ngalangin jalan."
Aletta menggembungkan pipinya dan memberi jalan pada cowok itu. Aldo --- siswa di sekolahnya yang Aletta mantapkan di dalam hati supaya tidak berurusan dengan cowok itu.
Tapi--- takdir siapa yang tahu?
🖤🤍To be continued 🖤🤍
Follow : @anadede_ to more information.
KAMU SEDANG MEMBACA
AL
Novela JuvenilAldo Ganendra Maheza dan Aletta Anaya "Untuk cinta yang memenangkan ego." ****