Setelah makan siang, mereka berdua berangkat menuju bandara untuk berbulan madu. Sebenarnya Seungyoun takut kalau waktu ini akan membuatnya melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan.
Namun, Seungyoun tidak mengerti alasan disetiap sentuhan Seungwoo kepadanya membuatnya merasa nyaman. Sesampainya di bandara, keluarga Seungwoo telah menunggu dan mereka sepertinya sengaja untuk melepas mereka berdua. Sementara di sisi lain, hanya ada Sangyeon yang datang dan membuat hati Seungyoun sakit.
Ibunya dan Lea benar-benar marah kepadanya.
"Hei, jangan bersedih." Seungwoo mencoba menghibur Seungyoun. Dai tidak menjawab, hanya mencengkram paperbag kecil berwarna coklat tua yang diberikan Sangyeon untuknya. Isinya obat-obatan Seungyoun untuk menjaga mood miliknya. "Aku tidak tahu kalau ayah, ibu dan kedua kakakku datang kemari untuk mengantar kita."
"Aku gapapa, kak."
"Kamu tidak baik-baik saja, Sangyeon," perkataan Seungwoo itu membuat Seungyoun semakin tidak merasa baik-baik saja, "Kamu pasti sedih karena kemarin menyadari berpisah dengan ibumu serta saudara-saudaramu dan sekarang hanya Seungyoun yang datang mengantarmu karena ibu serta adikmu sibuk."
Andai Seungwoo tahu, Ibunya akan selalu meluangkan waktu untuk anak-anaknya meski deadline tidak manusiawi tengah melanda home production-nya karena banyaknya pesanan kebaya yang masuk. Lea meski anti sosial, tetapi akan mencoba melawannya kalau itu berhubungan dengan berkumpul keluarga mereka di luar untuk makan siang atau makan malam.
Namun, mereka sekarang tidak datang karena marah dengannya.
Seungyoun memaksakan senyumnya untuk membuat Seungwoo tenang. Namun, dirinya justru ditarik ke pelukan lelaki lebih tua darinya dua tahun itu. seolah tidak peduli mereka berada di bandara, dilihat semua orang karena terlalu menunjukkan afeksi di depan publik. Kepalanya terasa diusap dan Seungyoun tanpa sadar memejamkan matanya. Aroma parfum maskulin yang digunakan Seungwoo membuat Seungyoun merasa sedikit tenang, padahal biasanya dia tidak begitu suka aroma parfum laki-laki karena terlalu tajam bagi hidungnya.
Saat pelukan mereka berakhir, Seungwoo menatap Seungyoun sembari tersenyum. Membuatnya tanpa sadar ikut tersenyum karena tatapan cinta dari Seungwoo kepadanya.
"Sangyeon, kalau kamu merasa sedih, apa kamu cerita padaku? Aku akan berusaha sebisaku membuatmu bahagia kembali."
Seungyoun tidak menjawab dan Seungwoo tidak tahu kalau senyumannya memudar karena menoleh ke arah sumber suara yang mengumumkan bahwa mereka sudah bisa boarding pass. Sebelah tangan mereka tertaut saat berjalan menuju gate yang telah diumumkan, meski hati Seungyoun sekarang rasanya berkecambuk.
Di satu sisi, Seungyoun mulai merasa membenci nama Sangyeon yang terus didengarnya dari Seungwoo. Di sisi lainnya, Seungyoun sekarang benar-benar takut kalau dia akan sepenuhnya jatuh kepada Seungwoo.
Karena bukan itu tujuannya berada di sini, menggantikan Sangyeon.
Kepala Seungyoun pusing dan dia tahu kondisi hatinya memburuk. Jadi Seungyoun memilih memejamkan mata saat sudah duduk di kursinya. Seungyoun merasakan Seungwoo memengang pantatnya karena sabuk pengaman yang didudukinya, tetapi tidak membuatnya membuka mata. Bunyi klik Seungyoun dengar dan merasakan kepalanya ditarik untuk bersandar di bahu Seungwoo. Rasanya sekarang Seungyoun ingin mati dan menghilang dari dunia karena menyesali segala perbuatannya.
Namun, penyesalan memang selalu datang belakangan dan jika datang di awal adalah pendaftaran.
Seungyoun berharap, saat membuka matanya nanti, dia bisa kembali ke kehidupannya sebelum mengiyakan pertukaran ini dengan Sangyeon. Namun, harapan itu tidak akan mungkin terjadi karena Seungyoun tahu, berharap kepada manusia itu seringkali berakhir mengecewakan.Saat membuka matanya, Seungyoun menyadari orang-orang sedang mengantri untuk turun dari pesawat.
Menoleh dan mendapati Seungwoo yang tersenyum kepadanya. Membuat Seungyoun tanpa sadar melakukan hal yang sama, kemudian memejamkan matanya sesaat karena Seungwoo mengusap pelan kepalanya. Seungyoun sebenarnya ingin kesal kepada diri sendiri karena begitu mudah merasa nyaman di sekitar Seungwoo dan hanya dari sentuhan-sentuhan kecil kepadanya.
Pada akhirnya keduanya turun dari pesawat dan menunggu bagasi. Selama masa menunggu, Seungyoun duduk di salah satu kursi yang tidak jauh dari tempat bagasi-bagasi yang berjalan di jalur khusus. Membuatnya menatap punggung Seungwoo yang ternyata cukup lebar dan tingginya yang di atas rata-rata itu membuatnya begitu mudah untuk menjadi pusat perhatian. Seungyoun tidak bodoh melihat berapa banyak pasang mata yang tertarik kepada Seungwoo dan membuatnya berpikir, kenapa Sangyeon tidak merasakan hal yang sama seperti mereka?
Apa kurangnya Seungwoo sampai tidak mau mencoba untuk bersama dan mengenal satu sama lainnya?
Lalu, Seungyoun kaget ada telpon masuk di HP-nya dan menampilkan Seungsik sebagai penelepon. Membuatnya tanpa sadar tersenyum lebar dan mengangkat telpon teman terdekatnya itu. Rasanya seperti lama sekali mereka tidak berbicara, padahal kalau dipikirkan kembali, belum juga 24 jam setelah Seungyoun resmi menikah menggantikan Sangyeon.
"Halo, Seungyoun. Lo gila." Perkataan Seungsik itu membuatnya tertawa, karena memang benar adanya. "Tapi karena gue udah marah-marah sama yang membuat perkara, jadi buat lo cuma satu pesan. Datang ke gue kalau lo udah gak sanggup."
"Duh, gue terharu banget dikhawatirin," tawa Seungyoun, lalu tersadar satu hal, "Bentar ... lo tahu kami?!"
"Sangyeon tadi enggak sengaja keceplosan namanya saat pesan minuman sama gue di Starbuck," jawaban Seungsik itu membuat Seungyoun hanya bisa tersenyum getir. Mungkin bermain peran adalah kegiatan mereka, tetapi orang yang paling sering membongkar identitas mereka adalah Sangyeon karena dia tidak begitu jago menyembunyikan sesuatu dalam jangka waktu yang lama, "Sumpah ya Seungyoun, lo gila. Iya, gue omongin sekali lagi biar dapat piring cantik, lo gila!"
Seungyoun mendengarnya hanya tertawa pelan, tidak sadar kalau Seungwoo sudah berada di depannya. Kemudian, dia menghela napas dan berkata, "Gak usah pikirin gue. Pikirin aja tuh kerjaan pas gue tinggal bakalan bener gak?"
"Sangyeon, nelpon siapa?" Suara Seungwoo membuat Seungyon langsung mendongakkan kepala dan menatap lelaki itu.
Berusaha untuk tidak panik, meski dia sebenarnya was-was, takut kalau Seungwoo sudah mendengarkan sejak awal. "Ah, itu kak. Ini temen aku nelpon. Oh iya Siki, aku tutup telponnya dulu ya. See you soon, bye!"
"Siki itu siapa?" Lagi-lagi Seungwoo bertanya dan Seungyoun bisa merasakan dari tatapan lelaki itu kalau dia terlihat tidak suka.
"Teman aku, kak," Seungyoun berusaha untuk tidak panik dengan tersenyum, lalu menggandeng tangan lelaki itu, "Apa udah semua kopernya yang diambil, kak? Kalau udah, aku mau makan, kak. Laper, hehehe."
Untungnya, Seungwoo tersenyum mendengar perkataan Seungyoun dan melangkahkan kakinya sembari mendorong troli keluar dari pintu kedatangan. Mereka memutuskan makan di luar area bandara karena Seungyoun bilang tidak ingin makan di bandara yang biasanya memberikan porsi yang sedikit. Seungyoun mengamati Seungwoo dan menyadari jika lelaki itu sepertinya tidak suka jika Sangyeon menyebutkan nama lelaki lain di depannya.Namun, Seungsik bukanlah lelaki asing dalam hidup Seungyoun dan Sangwoo. Apa mungkin di masa depan nanti Seungyoun harus memperkenalkan mereka berdua agar mengenal satu sama lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambush on All Sides | Seungzz [✓]
FanfictionSeharusnya Seungyoun tahu batasan untuk mengiyakan pertukaran peran menjadi Sangyeon untuk hidup bersama suami kembarannya, Seungwoo. DISCLAIMER: • X1 Fanfiction [Seungzz] • Untuk monthly fanwork Hanchozone bulan November #PetrichoRsszVember • Multi...