09: perasaannya yang kacau balau

104 20 1
                                    

Seungwoo tidak tahu apa ada perbuatan lainnya yang salah sehingga membuatnya menemukan suaminya tidur di kamar tamu dan bukan di kamar mereka. Meski ciuman waktu di perpustakaan itu tidak atas persetujuan suaminya, tetapi dia masih mau satu kamar dengannya. Tadi pagi pun masih mau memasakkan sarapan untuknya dan memberikan pesan hati-hati di perjalanan. Jadi, mengapa sekarang seperti ini? Bahkan saat memanggil namanya, tatapan tidak suka diberikan kepadanya. Apa karena tadi begitu suaminya pulang, Seungwoo yang sudah menunggu sejak tadi sore, langsung bertanya kemana perginya suaminya itu dan tidak bisa mengontrol nada bicaranya?

"Sangyeon...,"

"Malam ini, aku mau sendirian. Tanpa kakak di sampingku."

"Tapi...."

"Kalau kakak melangkah masuk lebih dari posisi sekarang, aku yang keluar dari rumah ini."

Seungwoo tidak bisa melakukan apa pun, juga tidak punya pilihan lain selain berbalik dan keluar dari kamar tamu. Dia pikir, mungkin suaminya itu sedang kesal dengannya karena sikapnya tadi. Namun, hatinya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Seolah hatinya berkata yang salah bukan karena sikapnya, tetapi Seungwoo tidak bisa menemukan hal yang salah. Membuatnya terus kepikiran dan tidak bisa tidur semalaman. Membuat kepalanya terasa pusing saat menyadari hari sudah pagi dan tidak mungkin dirinya tidak muncul di kantor.

Meski perusahaan milik keluarganya, Seungwoo tidak mendapatkan privilese seperti orang-orang bayangkan. Seungwoo juga ikut tes seperti yang lainnya, memulai semuanya dari bawah hingga bisa di posisi kepala bagian marketing di kantornya dan jabatan pemimpin di kantornya nyatanya bukan Seungwoo yang memegang meski dirinya anak lelaki satu-satunya di keluarga Han. Kantornya di pimpin oleh kakak perempuannya, Suhwa dan kakak keduanya yang tidak berminat dengan segala urusan bisnis keluarganya, memilih menjadi penulis.

Ah, Seungwoo jadi teringat kalau kembaran suaminya yang juga penulis. Mungkin kalau keduanya bertemu, mereka akan berbicara banyak hal seputar kepenulisan. Mungkin Seungwoo bisa mengatakan hal ini sebagai topik pembicaraan mereka pagi ini. Entah apa di dengarkan atau tidak, tetapi Seungwoo setidaknya harus mencoba untuk mengetahui hasilnya.

Seperti kata suaminya waktu itu, ketakutan hanyalah ada di kepalanya dan kalau belum dicoba, tidak akan tahu hasilnya.

Dengan kenyakinan itu, Seungwoo yang telah membersihkan diri dan berganti pakaian dari piyama menjadi setelan kantor, keluar dari kamarnya untuk menuju dapur. Seungwoo tidak bisa menahan senyumannya saat melihat punggung suaminya yang tengah menghadap dapur dan samar mendengar suara panduan memasak dari youtube. Saat tatapan mereka bertemu, Seungwoo tersenyum, tetapi tidak direspon hal yang sama oleh suaminya.

"Selamat pagi, Sangyeon."

"Pagi," jawabnya datar, "Aku mencoba memasak sarapan ala Jepang dengan bahan seadanya. Kalau aneh rasanya, maaf."

Seungwoo ragu mengatakan hal ini, tetapi akhirnya dia memutuskan untuk mengatakannya. "Kamu ... masih marah padaku, Sangyeon? Kalau iya, aku minta maaf."

"Minta maaf untuk kesalahan yang mana?" Tatapan dingin Seungyoun membuat Seungwoo merasa salah tingkah. Karena sejujurnya, Seungwoo juga tidak tahu kesalahannya di mana dan mengira jika meminta maaf, maka mereka akan kembali seperti biasanya. "Jangan mengatakan maaf semudah itu, kak. Kalau kakak terus begitu, bukan tidak mungkin orang-orang tidak menganggap serius perkataanmu."

Seungwoo terdiam, tidak tahu kalau lelaki yang mengatakan hal barusan kepadanya di dalam hatinya menertawakan diri sendiri karena bisa mengucapkan hal itu. Seolah tengah mengatakan bahwa dirinya sudah melakukan hal tersebut dan Seungwoo tidak perlu mengikuti jejaknya, untuk tidak dipercaya setiap mengucap maaf kepada orang-orang terdekatnya.

"Sangyeon, hari ini kamu mau ke mana?"

"Ke studio, mau ketemu Siki, kak."

Seungwoo berusaha untuk tidak merasa kesal karena lagi-lagi mendengar nama asing itu. Namun, nyatanya hatinya tidak bisa berbohong kalau dirinya tidak baik-baik saja mendengar nama itu dan binar mata suaminya di depannya tampak menantikan untuk bertemu dengan teman lelakinya. Seungwoo berusaha mengingatkan kepada diri sendiri bahwa mereka menjalani semua ini dengan perlahan, karena mereka belum benar-benar mengenal saat menikah karena permintaannya.

Meski rasanya, Seungwoo sudah mencari tahu tentang kehidupan suaminya dengan detail dan tidak ingat ada nama Seungsik yang bisa dibilang sebagai teman dekatnya. Apakah detektif yang dimintanya untuk mencari tahu kehidupan suaminya sebelum memutuskan untuk melamar orang yang selalu dipikirkannya selama ini melupakan data tentang Seungsik?

"Jam berapa kamu pulang, Sangyeon?"

"Mungkin seperti tadi malam, atau lebih malam lagi." Lelaki di hadapan Seungwoo menyendokkan kuah sup ke mulutnya, lalu menatapnya dengan datar. "Kenapa? Apa mau memarahiku lagi karena tidak pulang seperti jam kakak pulang kerja?"

"Tidak...," Seungwoo menggantungkan kalimatnya selama beberapa saat, "Tapi apa aku boleh menjemputmu? Aku juga ingin tahu di mana studio Seungsik."

"Dekat dengan rumah lamaku. Di deretan ruko, tepatnya di atas kafe Kenangan."

"Setelah sarapan, mau aku antarkan ke sana?"

"Tidak usah." Lelaki itu menatap Seungwoo tidak ramah. "Jalan ke kantor kakak dan ke rumahku berbeda arah."

Seungwoo ingin bilang kalau tidak masalah dirinya mengantar, tetapi suaminya tampaknya lebih memilih menyibukkan diri dengan HP di tangannya. Entah apa yang dilihatnya sehingga membuatnya tidak bisa menahan senyuman, kemudian melarikan jemari ke atas layar HP. Seungwoo ingin sekali menjadi alasan suaminya tertawa, tetapi dia bahkan tidak diberitahu salahnya di mana atau pun apa yang harus dilakukannya untuk membuat suaminya nyaman dengan kehadirannya?

Setelah sarapan selesai, Seungwoo menawarkan diri untuk mencuci peralatan makan mereka yang tidak dijawab apa pun. Namun, Seungwoo tidak menduga saat mereka keluar rumah bersama, ada seorang lelaki yang duduk di atas motor besar dan dari ujung matanya, bisa melihat suaminya tersenyum lebar,

"Siki, tumben banget enggak nyasar? OMG, ini harus kita rayakan!" Seungwoo seharusnya bisa menahan diri untuk tidak merasa cemburu, tetapi tidak bisa.

Apalagi saat melihat suaminya berjalan dengan senang (yang Seungwoo baru tahu kalau senangnya lelaki itu adalah berjalan sembari meloncat-loncat) menghampiri lelaki bernama Seungsik di atas motor. Jantungnya terasa diremas saat Seungwoo melihat suaminya dipasangkan helm dan kemudian duduk di belakang lelaki itu.

Apa Seungwoo harus membeli motor besar untuk bisa mendapatkan reaksi yang sama seperti yang dilihatnya? Namun, Seungwoo tidak bisa membawa motor dan rasanya sekarang ingin mengutuk dirinya yang terlihat bisa apa pun, nyatanya tidak bisa membawa motor. Rasanya menyebalkan saat tahu Seungwoo yang terbiasa bisa apa pun, sekarang merasa kalah karena ketidak mampuannya membawa kendaraan roda dua.

"Kak Seungwoo, aku pergi." Pamitan itu yang membuat lamunan Seungwoo buyar.

Seungwoo bahkan belum sempat merespon saat melihat tangan yang melingkar di pinggang Seungsik dan kepergian keduanya yang begitu cepat dari pandangannya. Seungwoo mencoba mengantur napasnya untuk menenangkan diri, tetapi yang bisa dilakukannya hanyalah melengos dan berkaca pinggang. Lalu sebelah tangannya melonggarkan dasinya karena merasa sedikit sulit bernapas, padahal tadi baik-baik saja.

Ternyata hanya perlu kehadiran orang yang disenangi suaminya untuk membuat perasaannya sekacau ini.

Ambush on All Sides | Seungzz [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang