10: kenyataan yang mengejutkan

119 19 1
                                    

"Enggak mungkin Sangyeon begitu!" Seungyoun tidak menerima perkataan Seungsik tentang kebohongan yang dilakukannya kemarin. "Dia saudara gue, masa tega bohong?"

"Demi semua uangku di rekening, Youn, dia bohong soal alasan dia menerima Seungwoo," Seungsik tahu kalau memberitahukan kepada Seungyoun pasti tidak akan semudah itu dipercaya. Lalu, dia mengeluarkan HP dan memutar rekaman yang sengaja dipotong di bagian perkataannya yang menanyakan tentang kebenaran perkataan Sangyeon. Membuat Seungsik bisa melihat wajah Seungyoun perlahan menampakkan kekecewaan. "Gue tahu lo kecewa sekarang, tapi dari dulu udah ngasih tahu soal Sangyeon gak pernah didenger."

"Tapi...."

"Youn, berhenti jadi pahlawan di kehidupan semua orang," Seungsik sengaja menyela perkataan Seungyoun, kemudian menghela napas, "Lo bukan pahlawan, lo bukan orang yang harus merasa bertanggung jawab atas hidupnya Sangyeon. Lo cuma perlu tanggung jawab sama kehidupan sendiri."

"Lo gak ngerti, Siki."

"Gue emang gak ngerti perasaan lo, tapi gue ngerti waktu yang tepat untuk mengatakan kebenaran."

Seungyoun tidak bisa berkata apa pun dan Seungsik sebenarnya tidak nyaman melihat teman dekatnya seperti ini, terlihat sedih. Meski Seungsik seringkali bertanya kepada dirinya sendiri, mengapa orang sebaik Seungyoun harus memiliki saudara sepicik Sangyeon?

Karena Seungsik sudah lelah menghitung Seungyoun yang bertukar peran sebagai Sangyeon untuk menyelesaikan masalah yang dimulai kembarannya. Sejak awal mengenal Sangyeon, alam bawah sadar Seungsik sudah memperingatkan untuk menjauh dari lelaki itu, meski sayangnya tidak semudah itu karena dia seringnya satu paket dengan Seungyoun.

"Coba lo pikirkan sekarang, Youn," Seungsik memutuskan untuk mengatakan yang dipikirannya dan melirik Seungyoun yang menatap kosong ke arah meja di depan sofa yang berada di studio mereka, "Kalau dia enggak salah, harusnya sekarang ada di sini dan menganggu kerjaan kita berdua, padahal tugas akhirnya gak ada hubungannya dengan desain."

"...mungkin dia lagi ke kampus, ketemu dosennya."

"Youn, lo aja bahkan gak yakin sama omongan sendiri," perkataan Seungsik membuat Seungyoun menoleh, "Dan serius, lo mendingan blokir kartu ATM atau gue temenin ke bank dekat sini buat buka rekening baru, lalu pindahin semua saldonya ke sana."

"Jangan, kasihan Sangyeon nanti."

"Apa dia kasihan sama lo?" Pertanyaan Seungsik membuat Seungyoun terdiam. "Kalau lo gatau, dia gak boleh pulang ke rumah sejak hari pernikahan yang lo jalanin. Selama itu juga, dia tinggal sama gue dan kemaren baru gue usir."

"Hah?"

"Gue bukannya bodoh ya, Youn. Gue tahu lo juga menukar semua identitas termasuk ATM ke Sangyeon." Seungsik menatap Seungyoun tegas. "Gue gak terima uang tabungan lo yang selama ini di dapatkan dengan kerja keras bergadang bermalam-malam demi mengejar deadline demi deadline, habis di tangan manusia yang bahkan gak punya kemampuan apa pun kecuali menghabiskan uang dan merepotkan orang lain."

Seungyoun menatap Seungsik dengan perasaan campur aduk. "Sik, lo jahat banget ngomong soal Sangyeon. Punya dendam apa sampai segitunya jelekin dia?"

"Pertama, gue ngomong fakta." Seungsik membentuk telunjuknya menjadi angka 1, lalu menambah jari tengahnya sehingga membentuk angka 2. "Kedua, gue emang dendam sama dia karena waktu kalian tukaran saat pelajaran fisika, tugas kelompok kita jadi nilainya paling rendah waktu SMA!"

Kalau ini keadaan biasa, Seungyoun akan menertawakannya dan menggoda Seungsik kalau lelaki itu tidak bisa melupakan masa lalu. Namun, Seungyoun rasanya begitu bingung harus merasakan emosi untuk saat itu karena sedih, marah dan kecewa menjadi satu. Dadanya rasanya sesak, tetapi Seungyoun tidak ingin menangis. Hanya sesak yang membuatnya bernapas terasa menyakitkan.

"Kalo gue buka ATM baru ... gue gak pegang identitas asli." Seungyoun akhirnya memecahkan diam keduanya dan membuat Seungsik hanya tersenyum.

"Gapapa, buat atas namanya aja." Seungsik kemudian mengambil helm, dan memakaikannya ke kepala Seungyoun. "Ayo ke bank. Gue tahu lo bisa palsuin tanda tangannya Sangyeon."

"Gue ... sebenarnya bakalan bisa dipolisikan gak sih karena ini?"

"Gue rasa lo malahan harusnya dipolisikan sejak lama karena menipu banyak orang," Seungsik tertawa, bermaksud melucu. Namun, wajah Seungyoun yang terlihat bersalah membuatnya menghela napas dan menyentil pelan dahi lelaki itu hingga mengaduh, "Lo gak akan dipolisikan, tenang aja. Gue yang jadi saksi rentetan penipuan kalian gak akan buka mulut."

"Lo ngomong seolah emang bisa bedain gue dan Sangyeon."

"Sayangnya, emang gue bisa," Seungsik mengambil helmnya dan saat menoleh ke arah Seungyoun, lelaki itu tampak kaget, "Lo pikir gue selama ini di anggap semua orang sebagai pengamat yang baik apa cuma buat lip service doang? Gue bahkan bisa ngenalin kalian dari sekali pandang, sejak hari lo kenalin Sangyeon waktu kelas satu SMA."

"Loh ... kok bisa?!"

"Kenapa enggak bisa, Seungyoun?"

Sepanjang perjalanan menuju bank yang sebenarnya bisa didatangi dengan berjalan kaki itu, Seungyoun memikirkan banyak hal, tetapi semuanya bermuara kepada Sangyoun. Mempertanyakan, kenapa saudaranya itu tega melakukan hal yang Seungsik katakan tadi, menipunya dan membuatnya mengambil keputusan berdasarkan emosi?

Padahal Sangyeon seharusnya tahu kalau Seungyoun itu tidak mudah stabil dengan emosinya dan justru menggunakan itu untuk kepentingannya. Seungyoun kurang melakukan apa selama ini sampai Sangyeon tega melakukan hal seperti itu kepadanya?

"Udah, gak usah pikirin adek kurang ajar lo," suara Seungsik membuat Seungyoun menoleh dan mereka tengah duduk di sofa dekat customer service untuk menunggu nomor antrian dipanggil, "Sekarang lo tahu dan melakukan langkah awal untuk menariknya bertanggung jawab dengan sikapnya."

Seungyoun sejujurnya merasa masih tidak tega melakukan ini. Namun, tatapan Seungsik yang mencoba menyakinkan Seungyoun bahwa ini adalah hal yang terbaik, membuatnya hanya bisa menghela napas.

"Lalu, setelah membuat dan memindahkannya, gue harus apa?"

"Menunggu dia datang kepada lo."

"Kalau dia selamanya tidak datang, bagaimana?"

"Apa lo yakin manusia yang kerjaannya menghamburkan uang bisa bertahan tanpa uang?"

Seungyoun tidak menjawab dan hanya berharap ini adalah keputusan yang terbaik. Seungyoun harus mengurai benang kusut yang diciptakannya dan membuat Sangyeon kembali ke kehidupannya yang sebenarnya, menjadi suami Seungwoo. Lalu, memikirkan Seungwoo seharusnya milik Sangyeon, ada bagian dari diri Seungyoun yang terasa tidak suka. Namun, Seungwoo tidak mengenal Seungyoun dan yang diinginkannya adalah Sangyeon.

Berakhir merapalkan fakta agar kepalanya mau melupakan Seungwoo. Bahwa dirinya tidak pantas bersama orang yang bahkan tidak bisa membedakan Seungyoun dan Sangyeon.

Ambush on All Sides | Seungzz [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang