Vivi berjalan cepat menuruni tangga menuju sebuah pintu yang menghubungkan dengan koridor lantai paling atas hotel ini. Vivi merasa kalau ia terus dibohongi dan ia sudah lelah dengan sandiwara itu.
Vivi menatap telapak tangan kanannya, ia masih mendapati tanda di pergelangan tangannya. Sebenarnya ia benar-benar memiliki kekuatan tiga dewa atau cuma sandiwara dari Naomi saja. Ia tadi mengalahkan Pucchi tanpa badai petir atau hujan geledek, jadi ia berpikir kalau ia sebenarnya tidak memiliki kekuatan apapun.
"Nona Tanumihardja."
Kepala Vivi menoleh ke samping, ia menghela napas panjang saat melihat seorang pegawai hotel berlari ke arahnya. Ia terus berjalan menuju sebuah lift dan tidak menghiraukan pegawai hotel itu.
"Nona Tanumihardja." Panggil pegawai itu lagi.
Tangan Vivi menekan tombol lift beberapa kali, ia harus menghindar dari pegawai itu karena sudah pasti pegawai hotel itu akan membawanya ke kedua orang tuanya.
Vivi tersenyum lebar saat mendengar denting lift yang terbuka, ia menoleh ke arah pegawai hotel itu, lidahnya terjulur ke depan seolah mengejek pegawai itu karena ia bisa lolos.
"Vivi."
Senyum Vivi seketika luntur, lidahnya pun langsung masuk ke dalam mulutnya seolah takut mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. Vivi melihat ke dalam lift, di sana terdapat papahnya dan orang tuanya Mira.
"Sudah ketemu, pak." Ucap pegawai yang baru saja datang dan berdiri di samping Vivi.
Kinan menganggukkan kepalanya, ia menyentuh pundak Shania dan Boby. "Tolong bawa mereka ke rooftop."
"Baik, pak."
Shania dan Boby melihat wajah Vivi yang babak belur lalu berjalan keluar dari dalam lift. Vivi semakin menundukkan kepalanya setelah mendapat tatapan tajam dari papahnya.
"Masuk." Kinan menarik tangan Vivi dengan kasar lalu ia menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai dasar.
Tak ada obrolan antara mereka berdua, berkali-kali Kinan menghela napas, Vivi hanya bisa menundukkan kepalanya karena ia yakin kalau papahnya sedang mencoba menekan amarah. Dugaannya semakin kuat saat mamahnya dan Ketlin tidak ikut dengan papahnya.
Kinan berjalan cepat keluar dari lift menuju mobilnya yang terparkir di depan hotel. Ia menghiraukan semua sapaan dari pegawai hotel yang ia lewati.
"Motorku di sana." Ucap Vivi sambil menunjuk ke arah motornya yang tergeletak.
"Masuk." Tegas Kinan sambil membuka pintu mobilnya.
Vivi mengangguk kecil, "Iya."
Atmosfer yang tercipta di dalam mobil yang dikendarai Kinan benar-benar mengerikan. Sudah pasti tidak ada yang betah satu mobil dengan Kinan saat Kinan sedang dalam keadaan marah seperti ini.
Vivi tidak lagi merasakan perih di wajahnya, yang kini ia rasakan hanyalah rasa takut jika Kinan meluapkan semua amarah kepada dirinya. Sudah banyak kesalahan yang Vivi perbuat, bolos sekolah, kabur, bertengkar, dan yang lainnya.
Mobil Kinan sudah masuk ke dalam gerbang, Veranda dan Ketlin berdiri di depan pintu, menunggu Kinan pulang membawa Vivi. Kinan membuka pintu mobilnya lalu keluar begitu saja. Ketlin menarik baju Veranda saat melihat raut wajah Kinan yang mengerikan.
"Itu anakmu, anak yang kamu banggain." Ucap Kinan sambil menatap tajam ke arah Veranda.
Veranda mengusap puncak kepala Ketlin, ia menoleh ke arah Ketlin. "Kamu masuk ke kamar dulu, ya, nanti mamah nyusul."