"Tekanan darah tuan Jung lumayan tinggi. Mungkin karena emosinya yang tidak stabil beberapa hari ini."
Ujar salah seorang dokter membuat Sooyoung menghela nafas pelan seraya menatap sendu pada sang suami. Membelai lembut puncak kepala Jaehyun.
"Kami akan memfokuskan untuk kestabilan tekanan darahnya. Jadi untuk sementara jadwal terapi akan kami undur agar tuan Jung memiliki waktu tidur yang cukup."
"Baik. Terima kasih."
Sahut Sooyoung membungkuk dan setelah kepergian sang dokter, gadis itu kembali duduk di samping ranjang. Sebuah bunyi notifikasi pesan membuatnya meraih ponsel di saku celananya.
Ibu
Pulang! || 07:54
Sooyoung menghela nafas pelan seraya memijit pelipisnya. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas dan mengalihkan pandangannya pada Jaehyun yang sedari tadi memperhatikan gerak geriknya. Gadis itu menggenggam lembut tangan Jaehyun dan sesekali memijitnya.
"Mengapa kau sering marah akhir-akhir ini? Apa aku berbuat salah?"
Tanyanya yang dijawab dengan dua kali kedipan mata.
"Lalu apa? Kau tidak biasanya mudah marah."
Dirasakan deru nafas pria itu semakin cepat. Sepasang matanya memerah, tampak jelas gurat kemarahan di wajah tampan Jaehyun.
"Lihat? Aku bahkan tak mengatakan apapun dan kau menjadi marah."
Bukannya menjadi lebih tenang, amarah pria itu semakin menjadi. Katakan saja jika Sooyoung mulai lelah. Mendapat desakan dari sang ibu dan di tambah dengan sikap suaminya yang terkadang cukup menguji kesabaran.
Sooyoung menghela nafas kasar sembari mengusap wajahnya gusar. Tubuhnya bergetar berusaha menahan tangis dengan menggigit bibir bawahnya.
"Aku mohon jangan seperti ini!"
Ujar gadis itu dengan suaranya yang meninggi seraya bangkit dari duduknya. Namun tak lama setelahnya, Sooyoung menyesali sikapnya. Melihat Jaehyun yang menangis dalam sunyi dan lebih memilih memejamkan matanya. Enggan untuk menatap wajah sang istri.
Sooyoung kembali terduduk dengan raut wajah penyesalan. Menggenggam lembut telapak tangan sang suami kemudian mengecupnya. Menumpahkan tangis yang selama ini susah payah ia sembunyikan.
"Maafkan aku. Aku mohon maafkan aku."
Ujar gadis itu di sela tangisnya dengan genggamannya yang kian erat. Sementara Jaehyun perlahan membuka matanya kembali. Dengan wajahnya yang basah akan air mata, pria itu memandang sendu pada sang istri yang membenamkan wajahnya di punggung tangannya. Gadis itu masih terisak, menangis dalam diamnya.
Pergerakan kecil pada jemari Jaehyun membuat Sooyoung perlahan mengangkat wajahnya. Dengan isak tangis yang masih tersisa, ia kembali mengecup lembut punggung tangan sang suami.
"Sayang, maafkan aku."
Ujarnya sekali lagi. Rasa bersalahnya terasa semakin besar begitu menyadari tatapan sang suami yang begitu teduh. Tatapan yang seolah menanyakan 'apakah kau baik-baik saja?' 'apa yang terjadi?' 'jangan bersedih. Ada aku disini.' Tatapan itu, tatapan yang mampu membuat Sooyoung semakin mencintai Jaehyun.
Gadis itu tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Membelai lembut rahang sang suami.
"Maafkan aku karena sudah membentakmu. Aku bisa bersikap kasar seperti ini tanpa tau betapa beratnya semua yang kau lalui. Maafkan aku Jaehyun."
Ucap Sooyoung sekali lagi. Melayangkan kecupan lembut berulang kali di punggung tangan pria itu sementara Jaehyun hanya memejamkan mata sejenak sebelum kembali memberi tatapan menenangkan pada sang istri.
"Tidurlah. Kau harus banyak istirahat."
Ucap gadis itu meletakkan kembali tangan Jaehyun. Menyelimuti pria itu dan mengecup singkat keningnya.
"Aku akan pergi mengambil air panas sebentar. Tak akan lama."
Ujarnya dan Jaehyun mulai memejamkan matanya. Sooyoung tersenyum tipis dan melangkah meninggalkan ruangan. Namun baru saja menutup pintu, gadis itu membelalakkan matanya begitu menyadari kehadiran Hwang Min Young, ibu kandungnya.
"Apa yang ibu lakukan disini?"
Bukannya menjawab, wanita paruh baya itu mengintip ke dalam ruangan melalui kaca pintu. Saat ia hendak melangkahkan kakinya, Sooyoung telah lebih dulu menahan pergelangan tangan ibunya. Menarik wanita paruh baya itu menjauh.
"Apa yang ibu inginkan?"
Tanya Sooyoung begitu keduanya berada cukup jauh.
"Bukankah ibu sudah mengatakannya? Tinggalkan anak itu."
"Bu, Jaehyun adalah suamiku!"
"Sejak kapan kau menikah dengannya? Ibu tak pernah merasa menjadi saksi pernikahan kalian."
"Kami sudah menikah! Aku sudah mendaftarkan pernikahan kami. Kami adalah pasangan suami istri yang sah menurut hukum!"
Terdengar tawa meremehkan dari Min Young.
"Kalau begitu bercerailah dengannya."
"Apa?"
"Ceraikan dia. Untuk apa kau bertahan dengan orang cacat? Ia bahkan tak bisa memberimu keturunan. Lihat? Bahkan berbicara saja ia tak bisa."
"Cukup bu, cukup!! Aku tak bisa mendengar lebih banyak lagi hinaan yang ibu tujukan pada suamiku!"
"Sooyoung, sampai kapan kau akan menjadi bodoh seperti ini? Baik, anggap saja kalian memang saling mencintai. Tapi bukankah kau harus mendahulukan otakmu? Berpikirlah secara realistis nak. Kau akan membuang hari-hari berhargamu hanya untuk merawatnya."
"Bu, bukankah ibu pernah mengatakan ini? Jaehyun adalah pria yang baik dan aku pantas mendapatkannya."
Sooyoung terdiam sejenak. Menatap lekat sang ibu dengan sepasang matanya yang berkaca-kaca.
"Bahkan dengan segala kekurangan yang aku miliki, ia membuat kekurangan itu menjadi kelebihanku bu. Saat semuanya terasa berat, Jaehyun selalu ada untuk membantuku bangkit. Lalu bagaimana bisa aku meninggalkannya saat ia sedang jatuh? Ibu sendiri yang mengatakannya padaku. Tidak peduli seburuk apa dirimu, setidaknya kau harus tau cara untuk membalas budi. Itu yang selalu ibu ajarkan padaku."
"Dan aku selalu menyesal karena mengajarkan hal tak berguna seperti itu kepadamu."
Sahut wanita paruh baya itu dengan nadanya yang begitu angkuh.
"Ikutlah dengan kami ke Jerman. Ayahmu ada proyek besar yang ia kerjakan disana. Tak ada penolakan. Kau harus ikut dengan kami."
Ujarnya sebelum berlalu meninggalkan Sooyoung yang kini menghela nafas kasar.
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
A Drop of Tears [END]
Fanfiction{FANFICTION} Pada sang waktu yang melebur dalam kelamnya sunyi. Saat keadaan memaksa untuk sebuah ketenangan hati. Dalam buliran bening yang mengalir di tiap kata yang telah terpatri. Kita jatuh sekali lagi. Pada lembah kelabu yang menyiksa diri.