Di dalam lift, karena ada beberapa orang di dalamnya, kami harus tetap bersandiwara. Aku tetap menjaga Jennie dekat denganku. Tanganku yang tadinya melingkar di pinggangnya, kini kupojokkan dia agar tidak terlalu dekat dengan penumpang lift lainnya. Jarak kami yang begitu dekat, entah bagaimana membuatku gugup.
"K-kau... terlalu dekat," bisik Jennie sambil menahan lenganku untuk tak menempel ke bahunya.
"Ah, maaf," balasku juga berbisik.
Ting!
Denting pintu lift menyelamatkanku. Lift telah berhenti di angka 60 dan pintu lift pun terbuka. Aku pun menjauh sedikit dan menggandeng tangannya lalu kami keluar dari lift itu. Alih-alih membiarkanku menggandengnya, Jennie melepas tangannya dari genggamanku dan beralih memeluk lenganku saat kami berjalan menuju restoran. Kami pun masuk ke lobi restoran. Pelayan menanyakan perihal reservasi dan aku menggelengkan kepala.
"Tidak. Tapi aku ingin kau memberiku lokasi meja yang strategis dan menu yang paling populer. Akan kubayar penuh, dua kali lipat," ujarku sambil mengeluarkan kartu namaku.
Setelah membaca kartu namaku, pelayan itu mengantar kami ke meja yang tampaknya memang yang paling strategis lokasinya. Tidak benar-benar di samping jendela namun masih bisa menikmati pemandangan dari jendela. Terlebih lagi, aku bisa mengamati setiap meja dari meja kami. Itu artinya setiap meja yang bisa kuamati adalah meja-meja yang bisa mengamati meja kami. Bagus. Jika ada yang diam-diam memotret, dari sudut mana pun pasti hasilnya akan sempurna.
"Kau memilih meja yang bagus," celetuk Jennie.
Aku tersenyum.
"Kau menyadarinya?" tanyaku.Jennie tersenyum miring.
"Meja ini memiliki titik pertemuan dari berbagai sudut meja lainnya. Dengan begitu, sudut foto yang diambil akan tetap mendapatkan hasil yang sempurna. Wajahmu, wajahku, tentu akan terpampang dan terekspos dengan cukup jelas. Yah, secara tidak langsung, kau membuat para pengunjung restoran ini menjadi reporter kita yang akan mengatakan pada dunia bahkan kita sedang berkencan. Bukan begitu, Bibin?" terang Jennie.Aku melipat kedua tanganku di atas meja.
"Oho. Kau tidak bodoh rupanya," ledekku.Jennie tersenyum sambil ikut melipat kedua tangannya di atas meja dan beradu tatap langsung dengan mataku.
"Tentu, Bibin. Tidak semua wanita yang berlenggak-lenggok di depan kamera berotak kosong," balasnya.Aku menatapnya lekat-lekat. Memang sih, ucapannya benar. Tapi aku tidak pernah mengira bahwa supermodel seperti dia bisa menyadari hal semacam ini. Bukan aku meremehkannya, hanya Jennie terlihat bukan seperti gadis pintar. Tapi tidak terlihat bodoh juga sih.
"Baiklah. Kau cukup pintar, tapi tetap saja," balasku.
"Yah, setidaknya aku tidak lebih bodoh dari mantanmu," ledek Jennie sambil tersenyum manis.
Sungguh. Perpaduan antara pembicaraan kami dengan ekspresi kami benar-benar tidak sinkron. Tapi orang yang melihatnya dari jauh pasti akan berpikir bahwa aku dan Jennie benar-benar bercengkerama seperti sepasang kekasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
How I Met My Bride [OnHold]
FanfictionFF [Marpho Series - Side Story] Sombong sekali dia. Apa hebatnya gadis seperti dia? - Kim Hanbin Apa maunya duda satu itu? Sok penguasa. Cih! - Kim Jennie ::disclaimer:: Cerita ini hanya menggunakan nama idol sebagai cast, namun tidak dengan sifat k...