ღ gαdís 'gσвlín' ღ

452 78 54
                                    

˙·٠•●♥ [ 𝓗 𝓸 𝔀 𝓘 𝓜 𝓮 𝓽 𝓜 𝔂 𝓑 𝓻 𝓲 𝓭 𝓮 ] ♥●•٠·˙

"Oppa, Appa pasti suka bukan dengan patung kecil ini? Byura membuatnya sambil membayangkan Appa," celoteh adikku yang baru bisa bicara dengan benar beberapa bulan yang lalu ini.

Aku tersenyum dan mengangguk padanya. Namaku Kim Hanbin, dan ini adikku, Kim Hanbyul. Hanbyul lebih suka menyebutkan dirinya sendiri dalam frasa orang ketiga dengan nama Byura daripada sekedar menggunakan kata aku. Aku menduga, itu karena Byura adalah panggilan mendiang Appa untuknya.

Ya, mendiang. Appa meninggal sekitar satu tahun yang lalu karena sakit. Sepeninggal beliau, aku yang baru saja lulus dari sekolah bisnis, segera menggantikan kepemimpinannya di perusahaan. Banyak yang meragukanku, namun tidak sedikit juga yang mendukungku. Aku tidak menyalahkan mereka yang ragu padaku. Itu sangat wajar dan aku tahu, aku harus berusaha lebih keras agar mereka sepenuhnya mendukungku.

Aku dan Hanbyul terpaut jarak umur yang begitu jauh. Sekitar delapan belas tahun perbedaan umurku dengan Hanbyul. Mendiang Appa menikah dengan Eomma di usia yang begitu muda. Dan aku tak tahu mengapa, mereka memutuskan memiliki Hanbyul di rentan waktu yang begitu lama setelah memilikiku.

"Oppa, apa Appa juga merindukan Byura?" celetuk Hanbyul yang membuyarkan lamunanku, mengingat kebersamaanku bersama mendiang Appa juga betapa senangnya saat aku memiliki adik kecil seperti Hanbyul.

"Tentu saja Appa merindukan Byura. Nanti, Byura bisa menyimpan hasil karya Byura disamping foto Appa," ujarku.

"Assa! Byura senang sekali," seru Hanbyul senang.

Aku terkekeh melihat tingkahnya. Adikku ini termasuk anak yang cerdas. Aku tidak mengerti bagaimana Eomma memberitahukan kepergian Appa di usia dininya, namun ia mengerti. Ia mengerti bahwa Appa pergi dan tidak kembali. Ia bahkan ikut menangis dan memelukku yang kala itu baru kembali dari luar negeri menuju pemakaman Appa. Hanbyul seperti malaikat kecil, yang seolah tahu apa yang harus dilakukan di situasi seperti apa.

Kami tiba di pemakaman. Kusempatkan membeli seikat bunga dari toko bunga di depan gerbang makam. Hanbyul ikut mengusulkan bunga apa yang nanti harus dipersembahkan untuk Appa. Usai membeli bunga, kami masuk ke dalam dan mencari tempat pemajangan abu Appa, yang memang meminta untuk dikremasi saat meninggal.

"Oppa, itu Appa!" seru Hanbyul sambil menunjuk salah satu rak yang berada di barisan tiga dari atas. Aku tersenyum sambil mengekori Hanbyul yang setengah berlari ke arah rak itu.

Hanbyul melompat-lompat kecil untuk menjangkau rak itu. Namun adikku itu masih belum menggapainya. Aku tersenyum kecil melihat tingkahnya lalu kugendong ia hingga berhasil meletakkan hasil kerajinannya di dekat guci penyimpan abu Appa setelah kaca penutupnya kubuka.

"Appa, Byura datang. Hehe.." sapa Hanbyul pada salah satu foto Appa yang tengah tersenyum sambil melambaikan hasil pancingannya. Ya, semasa hidupnya, memancing adalah hobi Appa.

"Appa, Hanbin juga datang. Jal jinaesseo?" ujarku sambil tersenyum dan hendak menurunkan Hanbyul.

"Oppa, hajima. Gendong Byura saja. Byura masih ingin melihat Appa," seru Hanbyul saat akan kuturunkan.

Karena keinginan Hanbyul, aku pun menggendongnya menyamping. Hanyul melingkarkan kedua tangannya ke leherku dari samping.

"Appa, apa kau mengawasi kami dari langit? Hanbyul tumbuh menjadi anak yang cerdas. Kau lihat bagaimana cerewetnya? Apa Appa percaya bahwa anak perempuan Appa ini baru berusia lima, ah oke, enam tahun jika dalam hitungan usia Korea. Tapi lihatlah Appa, Byura-nya Appa lebih bawel dari Eomma," batinku.

How I Met My Bride [OnHold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang