Part 11 - S&K Abi

27 3 1
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Kebencian laksana duri yang tiap saat menusuk hati,

Kemarahan laksana api yang tiap hari membakar nurani."

-Ahmad Rifa'i Rif'an

Halooo, assalammu'alaikum temen-temen.. aku update lagi, jangan lupa tinggalkan jejak kalian, ya.. dengan vote atau pun komen..

Happy reading..

Masa SMP telah berhasil Ziyah lalui dengan baik, meskipun terkadang sesekali ia harus keluar dari rel yang telah ditetapkan oleh kedua orang tuanya. Karena baginya, hidup yang lurus-lurus saja lagi monoton kurang seru dan kurang menantang dirinya. Maka dari itu sedikit berbelok haluan menjadi pilihannya untuk menjalani kehidupannya selama ini

Namun, meski begitu ia tetap tak pernah melanggar batasan dalam agamanya. Sebab ia masih tahu diri, bahwa bagimanapun perintah Tuhannya tetap harus ia patuhi. Walau sebenarnya selama ini ia masih belum bisa mematuhi semua perintah-Nya. Tak seperti kedua Kakaknya dan kedua orang tuanya yang selalu taat pada perintah-Nya.

Di saat Ziyah sedang asyik berselancar di dunia maya, tiba-tiba Kakak sulungnya datang ke kamarnya. Untuk menyampaikan perintah Abinya agar ia segera turun ke bawah. Dengan segera Ziyah letakkan gawainya di atas nakas, kemudian langsung berjalan untuk menemui panggilan dari Abinya tersebut.

Saat kurang beberapa langkah lagi ia sampai ke ruang keluarga, ia memelankan langkah kakinya. Karena di sana tak hanya Abinya saja yang ia lihat, melainkan juga ada Umi dan Kakak bungsunya yang tidak ia ketahui kapan datangnya.

Waduh, kenapa pada ngumpul, ya? Apa aku mau disidang? Tapi, aku 'kan gak ngelakuin kesalahan akhir-akhir ini, batin Ziyah.

Fais yang berjalan di belakang Ziyah, akhirnya berjalan mendahuluinya.

"Ayo, dek buruan. Kok malah pelan ini loh, padahal udah ditunggu Abi dari tadi," ucap Fais membuat Ziyah segera menyusulnya kemudian duduk di samping Kakak bungsunya.

"Kak Hima, kapang datang?"

"Tadi, bakda dzuhur."

"Oh ... Kok Ziyah gak tau tapi, ya?"

"Gimana mau tau, orang kamunya tidur."

"Oh, iya. Ziyah lupa, Kak," ucap Ziyah dengan menunjukkan deretan giginya yang putih.

Setelah percakapan singkat antara kedua Kakak beradik itu, suasana di ruang keluarga kembali hening. Tak ada yang berbicara sama sekali. Namun, beberapa detik kemudian Fakhri yang menjadi kepala keluarga dalam keluarga kecil tersebut, memecah keheningan yang sempat terjadi di antara mereka.

"Gimana, kuliahmu di sana, Him?" tanya Fakhri dengan menatap ke arah putrinya yang sedari tadi hanya menunduk.

"Alhamdulillah lancar, Bi," jawab Hima sambil menunduk penuh ta'dzim.

"Kalo Ziyah gimana? Sudah siap?" tanya Fakhri dengan beralih menatap Ziyah.

Ziyah yang sedari tadi memainkan jemarinya langsung mendongak melihat ke arah Abinya, "Siap apa, Bi?"

"Kamu lupa, perkataan Abi padamu tiga tahun yang lalu?" tanya Fakhri kembali, mencoba mengingatkan Ziyah pada ucapannya kala itu.

Ziyah memutar otaknya, mencoba mengingat kembali ucapan dari Abinya yang kini ia lupakan. Namun, meski sudah berusaha dengan keras. Ia tetap tak bisa mengingat perkataan Abinya tersebut. "Ziyah nyerah, Abi. Ziyah gak bisa inget perkataan Abi, meski Ziyah udah berusaha," ucap Ziyah pasrah.

Perjamuan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang