Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku tidak pernah pulang ke kampung halaman tempat di mana aku kecil dulu. Sebuah kejadian yang mengharuskan aku untuk ikut ayah dan ibu pindah ke suatu kota besar, setelah ayah cekcok dengan keluarga.
Saat itu aku terlalu kecil untuk memahami masalah orang dewasa. Sampai sekarangpun ayah dan ibu tetap tutup mulut dengan masalah yang mengharuskan kami pindah.
***
Hujan turun sangat deras sore itu, beruntungnya aku sudah sampai di desa P tempat lahirku. Setelah menepi lalu mengenakan mantel hujan, kembali kulajukan motor menyusuri jalan aspal dengan banyak lubang di seluruh permukaannya.
Sedikit kujelaskan tentang desa tempat tinggal nenek atau yang akrab kupanggil Mbok. Setelah melewati rel kereta yang melintang di tengah jalan, akan terlihat bangunan besar layaknya sebuah benteng perang. Gedung itu sekarang beralih fungsi menjadi kantor perkebunan kopi, dan sisi barat terbentang luas perkebunan kopi dengan beragam cerita horornya.
Konon, mitos yang kudengar ketika masih kanak-kanak. Si Mbok bilang jangan main di sekitar perkebunan, takutnya di bawa Wewe Gombel.
Kemudian sebelum memasuki wilayah perkampungan akan ada perempatan jalan besar, kanan dan kiri merupakan jalan menuju desa-desa kecil termasuk desa tempat asalku yang namanya sengaja aku rahasiakan demi kenyamanan. Sedangkan jalan lurus, aku tidak pernah sekalipun ke sana, tetapi pak De berkata bahwa jalan itu menuju perbukitan di tengah hamparan perkebunan kopi. Hanya beberapa truk milik perkebunan yang melewati jalan tersebut dan desa asalku sendiri berbelok ke arah kanan dari perempatan.
Setelah melewati beberapa rumah-rumah kecil milik warga, akan ada rumah besar yang terbuat dari beton keras bangunan lama jaman penjajahan Belanda. Rumah besar yang sudah tidak terawat tersebut juga menyimpan banyak cerita horor.
Wajar saja banyak perubahan dengan suasana desa saat itu, karena aku sudah meninggalkan desa semala 17Tahun tanpa sekalipun pulang untuk menjenguk nenek. Banyak alasan yang ayah berikan saat aku meminta mengunjungi nenek.
Hujan masih turun dengan deras ketika ku belokkan motorku memasuki sebuah halaman luas sebuah rumah tempat tinggal masa kecilku dulu.
Setelah memarkirkan motor di teras rumah dengan atap asbes, mataku mengawasi setiap detail bangunan rumah. Tidak ada yang berubah, persis seperti dahulu sebelum kami sekeluarga meninggalkan desa ini menyisakan si Mbok yang tinggal seorang diri.
Lama aku berdiri di depan rumah di samping motor, air mata sudah membasahi kedua pipiku yang telah bercampur dengan air hujan saat telinga mendengar mendengar jelas suara merdu dari orang yang kurindukan, lantunan sholawat Al-khafi yang si Mbok ucapkan.
Serasa kembali bernostalgia sewaktu masih kecil, si Mbok sering menyayikan sholawat setiap waktu dan di sela-sela aktivitasnya. Dulu, saat si Mbok sedang sholat aku senantiasa bermain di dekatnya dan setelah si Mbok usai sholat beliau akan memangku diriku kemudian membacakan ayat-ayat pendek Alquran.
Dari balik kaca jendela lebar di sisi pintu, mataku melihat lampu yang baru saja di nyalakan. Di susul dengan lampu teras serta sisi kanan rumah.
Segera kuseka air mata yang meleleh di pipi, setelah menghela nafas ku beranikan diri untuk mengetuk pintu rumah. Alasan kepulanganku ke kampung halaman adalah untuk menghadiri pernikahan Mbak Murti anak Pak De Kusno kakak kandung kedua ayahku.
"Assalamualaikum ..." Sapaku sambil mengetuk pintu pelan.
Tidak berapa lama sosok perempuan tua yang masih mengenakan mukena membuka pintu. Beliau adalah Mbok Narti, nenek dari ayahku. Mata beningku menatap kedua bola matanya yang mulai pudar oleh usia, garis-garis di wajah tuanya menatapku penuh selidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMEDON MANTEN
Horror#2 in Horor Tentang sebuah cerita masa lalu yang masih terekam jelas dalam memori ingatanku. Sebuah teror hantu wanita yang tidak lain adalah Murti, kakak sepupuku itu meninggal satu jam sebelum melakukan akad nikah. Saat malam datang, suara nyanyi...