"Kita adalah memori yang meresap seperti tanah menghisap air hujan. Terpendam begitu saja dan menguar menjadi aroma kematian yang mendistraksi otak, menuntut kita yang sudah tidak punya apa-apa untuk kembali mengingat mereka."
"Qila!" panggil Raga. "Aquila! Tunggu!"
Evan menahan bahu Raga yang hendak mengejar Qila. "Tunggu disini, Raga. Aku akan menjelaskan padanya."
Usai berkata begitu, Evan ikut berlari mengejar Qila. Laki-laki itu melangkahi dua anak tangga sekaligus dan mencekal lengan Qila. Memutar tubuh gadis itu untuk menghadapnya.
Gadis itu menangis dan menjerit saat menemukan raut khawatir Evan. Suaranya menggema di deretan anak tangga kosong.
Dengan satu tarikan, Evan merengkuh bahu Qila. Mendekapnya erat dan membiarkan Qila menangis di pelukannya.
"Biarkan aku memelukmu sebentar, Qila."
Evan tidak melempar protes saat Qila memukul-mukul punggungnya dan meremat-remat kemejanya. Gadis itu menjerit dan meraung-raung dalam pelukan Evan. Hatinya terasa begitu sakit hingga rasanya menarik napas saja begitu menyesakkan. Sakit yang tidak bisa Qila jelaskan dengan rinci. Yang pasti, sakitnya melumpuhkan semua fungsi tubuhnya. Hanya bisa menangis dan terus menangis.
"Tumpahkan tangismu, Qila. Tidak apa-apa. Biarkan aku ikut merasakan sedihmu."
Mendengar ucapan Evan, Qila semakin meremat kuat-kuat kemeja laki-laki itu berharap sakitnya mereda. Jeritannya teredam pelukan Evan yang kiat mengerat.
"Jika aku tidak bisa menyalurkan degup jantungku agar seirama denganmu, setidaknya aku bisa mempercepat laju air matamu. Agar segera habis dan kau tersenyum lagi."
Tangan Evan menepuk-nepuk bahu Qila dengan harapan tangisan gadis ini segera reda sambil kembali berucap, "Keluarkan semua rasa sakitmu, Qila. Aku juga akan mengeluarkan rasa sakit itu malam ini. Rasa sakit saat menatap matamu yang berbinar hanya dengan menceritakan segala hal tentang Raga. Aku tidak akan mengkhianatinya lagi kali ini."
Qila menjauhkan sedikit tubuhnya, lalu menatap Evan. Sepenuhnya tangisnya telah berhenti pada ucapan terakhir Evan. Gadis itu menemukan tatapan sayu lawan bicaranya. Tapi sepersekian detik kemudian Evan menunjukkan senyum lesu.
Evan mengambil duduk di anak tangga, mengabaikan tatapan bertanya dari Qila.
"Kau tahu Qila? Aku dan Raga sudah bersahabat sejak lama," ucap Evan. Laki-laki itu seolah dalam posisi siap untuk bercerita, menutup rasa penasaran Qila tanpa ragu.
Evan melirik sekilas pada Qila yang bergeming di tempatnya. Tangannya menarik pelan tangan Qila, menuntunnya untuk duduk tanpa kata-kata.
"Raga itu genius, berbakat. Dia sangat suka ilmu astronomi. Dia memang berada di Alpha Class, tapi dia tidak satu angkatan dengan kita. Karena kepandaiannya, dia lompat satu tahun."
KAMU SEDANG MEMBACA
SPERANZA ✓ [Revised]
Jugendliteratur[SCHOOL LIFE - MYSTERY] Berawal dari keinginan Aquila Adara yang bersikeras untuk ikut dalam School Festival membuatnya harus bertemu dengan Raga Zeus. Cowok paling misterius di sekolah. Selain itu dia juga bertemu teman baru yang dalam senyap sedan...