HAPPY READING 🌻
KEEP VOMMENT°
Masa sih lo menolak cowok baik, ganteng, dan penyayang kayak gue? —Alvian.
Kepala Satya terasa sangat pening. Ia merasa mual sekali. Sehabis membeli bunga tadi, ia merasa tidak enak badan. Untuk itu ia meminta Aliza pulang dengan menaiki grabcar. Bukan bermaksud apa-apa. Hanya saja Satya tak mau merepotkan Aliza.
Ketika peningnya mencapai puncak, perutnya terasa berkelit. Lalu ia bergegas menuju kamar mandi untuk menuntaskan efek menggeleyar ini.
Suara air mengalir terdengar setelah Satya memuntahkan isi perutnya. Lelaki itu meraup oksigen dengan kasar dan rakus. Matanya sayu dan dahinya mengucurkan keringat.
"Satya, nih obat—Satya?!"
Azka datang membawa obat sakit kepala migrain kepada Satya. Namun saat Azka masuk ke dalam kamar Satya, ia malah tak menjumpai sohibnya itu.
"Ahoy gue di kamar mandi." ujar Satya menginterupsi. Segera setelah itu, Azka menyusul keberadannya. Dibalik wajah datar Azka, tersirat kekhawatiran yang besar terhadap Satya.
"Nih obat lo diminum. Bentar, gue ambilin air dulu." ujar Azka memberikan obat kepada Satya. Lelaki beriris kelabu itu terduduk di lantai kamar mandi yang amat dingin.
"Nih minum cepat." ujar Azka membawakan segelas air dan menyuruh Satya meminum obatnya. Azka prihatin dengan wajah sayu Satya yang belum pernah ditunjukkan kepada dunia. Selama ini, Satya hanya memasang wajah cerianya, menutupi segala kesedihan dengan tawa.
"Makasih Azka. Lo lebih kayak pacar daripada sahabat." ujar Satya lemah, sengaja menggoda. Azka berdecak. Tak habis pikir kenapa Satya bisa-bisanya bercanda walaupun ia tengah sakit seperti ini.
"Diem. Sekarang, ayo gue bantu lo berjalan ke dalam kamar." ujar Azka menarik tangan Satya ke pundaknya. Satya terkekeh.
"Kita mau ngapain ke kamar segala?" balas Satya menyeringai bercanda. Azka langsung melayangkan jitakan karena pikiran sahabatnya itu benar-benar kurang waras.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY TOXIC BOYFRIEND
Ficção AdolescenteSpin-off Science 7 Terjebak bersama tukang gombal yang berambisi menjadi pacarnya, hidup Aliza semasa SMA ternyata penuh ketidaktenangan. Terlebih lagi, lelaki itu sama sekali tidak peduli dengan amarahnya dan ketidaksukaannya. Hidup Aliza yang awal...