Eksistensi Biru

218 33 0
                                    

Assalamualaikum Wr. Wb,
Haloo semuanya.. Aku balik bawa bab kelanjutannya nih, semoga menghibur ya.
Selamat membaca, enjoyy!

🌻🌻🌻

Jingga melirik pada sang anak yang masih terlelap di sampingnya itu. Pagi ini dirinya benar-benar dibuat pusing oleh Zia. Bagaimana tidak, setelah mengantar Biru ke bandara tadi bocah itu tidak berhenti menangisi kepergian pria itu. Sampai kini Zia tertidur, mungkin karena kelelahan menangis. Jingga pun juga seperti itu jika terlalu lama menangis, setelahnya ia akan kelelahan dan tertidur dengan sendirinya.

Saat memasuki area komplek perumahan nya, gadis itu mampir sebentar ke minimarket. Ia harus membelikan sesuatu untuk menghibur anaknya nanti. Bisa dipastikan saat terbangun nanti, bocah itu masih akan sesekali menangis. Ya, Zia memang ceria seperti anak-anak pada umumnya, tapi kalau sudah menangis bisa dipastikan Jingga tidak akan sempat bergerak bebas walaupun hanya sekedar buang air kecil. Sebab Zia akan terus menempel padanya.

Sama seperti saat bocah itu melarangnya untuk pulang setelah acara pengajian dirumah Arum, tepatnya saat seminggu kepergian Samudra. Zia terus meminta Jingga untuk menemaninya kemana pun, dari mulai bocah itu makan yang harus di suapi oleh Jingga, lalu berlanjut saat Jingga juga harus memandikan bocah itu, hingga sampai saat bocah itu hendak tidur Jingga juga harus menemaninya. Mau tidak mau gadis itu harus menginap kan.

Sampai saat itu Arum sedikit membentak sang cucu karena menurutnya Zia sudah sangat merepotkan Jingga. Ya, itulah awal mula kenapa Zia takut pada Arum. Karena itu, dibanding nanti terjadi hal yang tidak diinginkan Jingga meminta izin pada Arum untuk mengajak Zia menginap di rumahnya selama beberapa hari. Untungnya Arum mengizinkan, namun saat wanita itu menjemput Zia untuk pulang, lagi-lagi bocah itu merengek tidak mau berpisah dengan Jingga. Dan yang lebih mengejutkan mereka lagi Zia tidak memanggil Jingga dengan embel-embel Tante lagi, namun dengan sebutan Mama.

Arum tentu semakin merasa tidak enak pada Jingga, begitu pun sebaliknya. Dan akhirnya Jingga kembali meminta izin untuk mengadopsi Zia, gadis itu juga tal lupa meminta izin pada kedua orang tuanya. Jingga beralasan karena sebagai bentuk permintaan maaf nya atas kejadian yang menimpa Samudra. Jelas Arum tidak menerima alasan tersebut, namun wanita itu tetap mengizinkan Jingga untuk mengadopsi cucunya. Sebab Arum tahu kalau gadis itu bisa membantu tumbuh kembang Zia dengan baik, Arum percaya itu.

Setelah membeli beberapa camilan kesukaan sang anak, Jingga kembali melanjukan mobilnya. Saat selesai memarkirkan mobilnya diarea carport rumah, dilihatnya Zia sudah bangun dan menatap kearahnya dengan pandangan sedih.

Pasti masih kepikiran si Biru.

"Eh sudah bangun, masuk yuk! Mama sudah beli camilan kesukaan kamu nih," Ujar Jingga sambil memperlihatkan shopping bag yang penuh dengan beberapa jenis camilan. Tak ada jawaban dari sang anak, bocah cilik itu masih pada posisinya.

"Masuk dulu ya Nak, tadi Om Biru sudah janji kan mau telepon Zia kalau sudah sampai?" Ujar gadis itu lagi yang diangguki lesu oleh Zia.

Ya ampun, kamu kok bisa sampai kehilangan Biru begitu sih Nak?

🌻🌻🌻

"Ya Assalamualaikum, kenapa Win?" Jingga masih mencoba membujuk Zia untuk makan, sejak tadi pagi bocah itu belum juga mau makan. Baru terisi biskuit saja tadi, sampai jam satu siang sekarang pun Zia juga belum mau makan.

"Wa'alaikumsalam, Zia gimana? Sudah mau makan?" Tanya Erwin yang langsung meneleponnya saat gadis itu memberitahu kalau Zia tidak mau makan.

"Belum, gimana dong nih." Balas gadis itu merasa putus asa melihat sang anak kini hanya duduk diam sambil menonton kartun kesukaannya di tv.

"Kebetulan aku lagi didaerah rumah kamu nih, mampir sebentar boleh ya?"

"Jangan, jam makan siang kan sudah lewat Win. Kena masalah lo yang ada." Tolak Jingga membuat lawan bicaranya itu terkekeh pelan.

"Gak kok, aku lagi mau ketemu klien. Kebetulan klien nya masih butuh waktu sekitar empat puluh lima menit lagi, katanya sih ada hal yang harus diurus dadakan. Nah, makanya itu aku mau mampir sebentar, sekalian bujuk Zia." Jelas Erwin membuat Jingga menimbang-nimbang tawaran dari temannya itu.

Ya, kalau sama Erwin kali aja si Zia mau makan.

Akhirnya gadis itu mengiyakan tawaran dari Erwin. Setelah sambungan telepon mereka terputus Jingga memberitahukan pada Zia kalau Erwin hendak datang, namun diluar perkiraan bocah itu hanya mengangguk singkat menanggapi kabar bahagia yang biasanya akan membuat bocah cilik itu bereaksi heboh jika sudah mendengar nama pria itu.

Entahlah, Jingga sendiri merasakan eksistensi Biru benar-benar telah mencuri banyak perhatian sang anak. Bahkan Erwin yang dulu menjadi Om kesayangannya itu telah tergantikan oleh Biru. Jingga sendiri tak tahu apa yang sudah diperbuat oleh Biru sampai sampai Zia bisa langsung menempel padanya hanya dalam waktu singkat.

Suara klakson mobil membuatnya beranjak membukakan pintu untuk Erwin. Gadis itu memasang wajah melas saat Erwin keluar dari mobilnya. Pria itu hanya tersenyum tipis melihat ekspresi yang ditunjukkan Jingga padanya. Keduanya masuk kedalam rumah, Erwin langsung menghampiri Zia yang memasang raut sedih kearahnya.

"Aduh, kenapa nih, kok sedih begitu?" Tanya pria itu sambil mengusap pipi chubby bocah yang saat ini sudah berada dalam gendongan nya.

Tak ada jawaban dari Zia, bocah itu hanya memeluk Erwin dan menenggelamkan wajahnya diantara bahu dan leher pria itu. Erwin sendiri berusaha membujuk Zia untuk makan, namun lagi-lagi ditolak oleh bocah itu.

"Oh iya, Om Biru ada pesan gak ke Zia?" Tanya pria itu kemudian membuat Zia mengangkat kepalanya dan menatap penuh tanya pada Erwin.

Terlihat bocah itu tengah memikirkan sesuatu, karena sesekali Zia merotasi matanya keatas lalu setelahnya mengangguk pelan.

"Apa coba pesannya?" Erwin kembali bertanya membuat bocah itu mencebik lucu.

"Jangan nakal, harus nurut sama Mama, jangan buat Mama sedih," Ujar Zia kemudian, matanya melirik takut kearah Jingga yang tersenyum kecil padanya.

"Maaf ya Ma, Zia sudah gak nurut sama Mama," Sesal bocah itu kemudian membuat Jingga melangkah mendekati nya.

"Gak apa-apa sayang, Mama tahu kok Zia lagi sedih, tapi kamu juga harus makan ya? Kalau Zia gak mau makan nanti sakit terus Mama sedih deh, sekarang makan dulu ya Nak, mau kan?" Bujuk gadis itu lagi membuat Zia mengangguk cepat.

"Iya mau Ma, Zia gak mau Mama sedih. Tapi di suapin Om Erwin boleh?" Izin bocah itu menghadirkan tawa kecil dari Jingga dan juga Erwin.

"Iya boleh dong." Balas gadis itu sambil mengusap lembut puncak kepala sang anak.

Benar kan, eksistensi Biru sangat berpengaruh besar pada Zia. Hanya dengan menyebut namanya saja sudah bisa membuat sang anak normal kembali. Dan yang lebih membuatnya terkejut lagi entah sejak kapan Erwin menjadi sedekat itu dengan Biru. Bahkan dirinya saja tidak tahu kalau Biru berpesan seperti itu pada Zia, tapi kenapa justru Erwin yang lebih tahu?

Kalau diingat-ingat kembali, sejak satu kelas dengan Erwin dulu, Biru tidak pernah berbincang lebih jika bukan menyangkut tugas sekolah. Tidak hanya dengan Erwin, tapi dengan teman-teman sekelasnya pun Biru jarang sekali berbincang bahkan sekedar menyapa. Pria itu hanya dekat dengan anggota klub basket nya.

Ya, seperti itulah sosok Albiru saat masa remaja dulu. Berbeda jauh dengan saat ini, tapi setidaknya Jingga turut senang karena pria itu telah berhasil merobohkan benteng pertahanannya. Gadis itu sangat senang jika Biru bisa merasa nyaman dengan orang-orang disekitarnya.

Biru aja bisa, kenapa gue gak?

🌻🌻🌻

Semoga bab ini memuaskan ya, maaf banget kemarin gak jadi update. Hari ini jadi double up deh hehe..
Jangan lupa untuk vote dan komen jika ada kritik maupun saran ya teman-teman, terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Biru Jingga [SELESAI] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang