Rasa Takut

274 41 0
                                    

Assalamualaikum Wr. Wb,
Haloo semuanya.. Aku balik bawa bab kelanjutannya nih, semoga menghibur ya.
Selamat membaca,  enjoyy!

🌻🌻🌻

"Om nanti jemput Zia juga kan?" Tanya Zia sambil menatap kearah Biru dengan penuh binar.

"Om Biru harus kerja, nanti dijemㅡ"

"Iya dong, masuk ya. Belajarnya semangat ya Zia!" Biru mengangkat kedua tangannya, semacam gerakan untuk menyemangati bocah tujuh tahun itu.

"Siap Om!" Balas Zia yang juga mengikuti gerakan yang Biru ciptakan itu, bocah itu beralih menuju Jingga yang tersenyum padanya. "Mama jangan marahin Om Biru lagi ya Ma. Zia masuk kelas ya Ma, Om." Pamit nya sambil menyalimi Biru dan Jingga secara bergantian.

Setelah bocah itu masuk kedalam kelasnya dengan cepat Jingga melangkah pergi meninggalkan Biru, yang tentu saja pria itu masih bisa mengembangkan langkah gadis itu. Dengan tinggi badan seratus delapan puluh dua centimeter, bukan hal yang sulit bagi Biru untuk mengejar langkah kecil Jingga yang memiliki tinggi seratus enam puluh dua centimeter itu.

"Lo belum sarapan kan?" Tanya pria itu.

"Sudah."

"Oke. Temenin gue sarapan kalau begitu." Ujar Biru sambil menarik pelan lengan Jingga yang tentu saja langsung ditepis oleh gadis itu.

"Gue kan pernah bilang kalau jangan pegang-pegang. Gue naik ojol aja terimakasih sudah mau antar Zia." Gadis itu melangkah cepat menuju pos satpam.

"Pak, titip Zia ya Pak. Oh iya, kalau orang itu jemput jangan dibolehin ya Pak. Terimakasih Pak Tama." Ujar Jingga cepat lalu melangkah keluar dari sekolah. Sedangkan Tama menatap bingung kearah Biru yang tersenyum lebar padanya.

"Gak apa-apa kok Pak, saya bukan orang jahat. Titip Zia ya Pak, saya duluan ya." Ujar pria itu sambil menyusul Jingga.

"Temenin gue sarapan ayo." Bujuk pria itu lagi sambil terus mengekori Jingga.

"Terakhir deh. Beneran." Biru mengangguk mencoba memastikan gadis yang memandangnya penuh selidik itu.

"Pegang omongan lo. Terakhir." Balas Jingga penuh penekanan lalu melangkah menuju kearah mobil Biru.

Biru tersenyum kecil lalu menyusul gadis itu. Tangannya membuka pintu bersamaan dengan Jingga. Bedanya pria itu membuka pintu bagian depan sedangkan Jingga membuka pintu bagian belakang. Melihat itu membuat Jingga dengan cepat masuk kedalam mobil. Biru tersenyum kecil seraya menghela nafas pasrah.

"Kayaknya dia balas dendam karena dulu gue sering cuekin dia ya?" Gumam pria itu sembari menutup kembali pintu mobilnya.

🌻🌻🌻

"Kalau takut gak usah sampai segitunya dong, kan gue jadi gak enak sama Mas Tara." Jingga terus meremas kedua telapak tangannya yang saling bertaut itu. Rasa takut itu kini kembali hadir, atau mungkin sebenarnya belum pernah hilang.

Gadis itu baru bertemu dengan pria yang dipanggil 'Mas Tara' oleh Biru itu. Tapi suara pria itu mengingatkan nya pada seseorang yang sangat gadis itu takuti dan terus menghantui setiap mimpi buruknya itu hadir. Ia tidak ingin menerka-nerka sebenarnya, namun ingatannya akan suara itu tak bisa ia hiraukan begitu saja. Jelas sekali suara itu yang terus menerus menghantuinya selama sepuluh tahun terakhir ini. Jelas sekali suara itu yang diingat nya terakhir kali sebelum melihat sosok Bima yang penuh dengan luka lebam dan juga darah. Dan jelas pula, suara itu yang saat ini benar-benar harus dihindarinya.

"Biru, serius ya. Ini permintaan terakhir gue, tolong jangan coba buat mendekat ke gue dan juga keluarga gue. Gue mohon." Gadis itu merasakan suara decitan mobil yang ia tumpangi itu, matanya melirik kearah jendela.

"Kesempatan." Batin Jingga, tangannya perlahan mencoba membuka kuncian seatbelt.

"Maksud lo apaan sih! Nih ya, gue tuhㅡ"

"Gue turun disini aja ya, thanks buat tumpangannya. Tolong ingat baik-baik permintaan gue." Dengan cepat Jingga keluar dari mobil lalu melangkah menaiki tangga halte. Gadis itu sedikit berlari saat menaiki tangga terakhir, dengan cepat ia berlari menuju halte Bustrans dibagian tengah bawah jembatan penyebrangan orang itu.

Jingga melirik sekilas kearah Biru yang sepertinya sudah menabrak orang, bagus lah, setidaknya pria itu terhalang untuk mengejarnya. Gadis itu melakukan tap in pada tempat yang sudah disediakan, ia melihat kearah seberang dimana Biru masih berdiri sambil menatapnya. Jingga menundukkan wajahnya, ia tahu dari jarak sejauh itu seharusnya ia tak perlu merasa terintimidasi oleh tatapan pria itu. Tapi ia benar-benar merasa harus menjauhi Biru, gadis itu tidak mau terjadi hal yang membahayakan jika pria itu terus terlibat dengannya.

Jingga tahu betul, tidak seharusnya dia berprasangka buruk pada pria bernama Tara. Namun, dia harus tetap berjaga-jaga. Dengan tidak berhubungan dengan Biru ia yakin itu adalah keputusan yang tepat. Ya, setidaknya jika pria itu mau menurutinya.

🌻🌻🌻

"Assalamualaikum," Jingga masuk kedalam rumah. Dengan cepat gadis itu berhambur mendekati Riri dan memeluk erat wanita paruh baya itu.

"Wa'alaikumsalam, kamu kenapa sih? Diapain sama Biru?" Tanya Riri khawatir melihat anaknya yang ketakutan seperti itu. Wanita itu bisa merasakan rasa takut dari Jingga, sebab gadis itu memeluknya dengan sangat erat.

"Bu, Jingga takut Bu." Ujar sang anak membuat Riri mencoba merenggangkan pelukan mereka. Dilihatnya wajah Jingga yang cukup pucat, membuatnya mengusap lembut wajah putri satu-satunya itu.

"Kamu kenapa? Sampai pucat begini, Ibu ambilin minum dulu ya," Riri hendak beranjak namun ditahan oleh Jingga.

"Bu minta tolong Ayah buat jemput Zia nanti ya?" Pinta gadis itu membuat Riri mengangguk singkat.

"Minum dulu yuk, habis itu makan terus istirahat ya." Titah wanita itu sambil menuntun anaknya menuju meja bar didekat dapur.

Riri menuangkan air kedalam gelas lalu memberikan pada Jingga. "Apa gak mau minta tolong sama Biru aja Nak?"

Jingga menggeleng cepat, "Jangan Bu, tolong. Kalau gak aku minta tolong Erwin aja ya," Gadis itu merogoh tasnya dan mencoba menghubungi temannya itu.

"Ibu aja yang ngomong, kamu makan dulu ajㅡ"

"Aku sudah makan kok Bu,"

"Ya sudah istirahat dikamar aja ya, biar Ibuㅡ Eh iya, Assalamualaikum Win," Riri menuntun anaknya menuju kedalam kamarnya.

"Iya minta tolong jemput Zia bisa gak? Si Jingga tiba-tiba meriang nih, Tante juga gak tega tinggalin dia sendirian." Riri duduk dipinggir ranjang milik anaknya itu.

"Iya terimakasih banyak ya, maaf ngerepotin." Wanita itu tersenyum seraya mengangguk pada Jingga yang menatapnya.

"Iya, sekali lagi terimakasih ya. Wassalamualaikum," Riri mengembalikan ponsel Jingga, diusapnya kepala gadis itu dengan lembut dan penuh sayang.

"Tidur dulu ya, nanti aja ceritanya." Ujarnya kala Jingga hendak membuka suara, tangannya diraih oleh sang anak seraya menggenggamnya erat.

"Maafin Ibu ya, maaf kalau Ibu sudah menghadirkan rasa takut kamu lagi." Sesalnya pada Jingga yang kini sudah memejamkan matanya itu, dilihatnya gadis itu menggeleng kecil dalam lelapnya.

Aku yang seharusnya minta maaf karena terus menerus menyusahkan Ibu dan Ayah karena rasa takut berlebihan ini.

🌻🌻🌻

Gimana? Gimana?
Semoga menghibur ya bab dua belasnya.. Jangan lupa untuk vote dan komen jika ada kritik maupun saran ya teman-teman, terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Biru Jingga [SELESAI] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang