Dia selalu berdetak setiap aku rindu dengan senyumnya lagi, seperti setiap rindu yang selalu terbayar lunas mengingat dia menyatu denganku sekarang. "Hai, Wil. Long time no see, kita udah dua tahun nggak ketemu ya, dan baru sekarang bisa ngobrol lagi, kamu pasti udah lebih bahagia di sana. How's your day, dude?" Kak Auro membungkuk bagai telah menemukan caranya bertemu Kak Willi yang telah meringkuk kaku di sana. "Great! Great to see your smile again. You look so beautiful now, more beautiful than I see you before," 🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱 "Cie si paling berkorban latihan lagi," rayuku sampai terlihat tarikan senyum bangga Kak Willi. "Iya dong. Aku sepertinya lebih baik mati daripada harus melihat Auro marah lagi," "Ahahaha, awas loh suka lagi sama Kak Auro," "Sudah deh, Auro itu tidak waras, dia tidak menyukai lelaki tampan sepertiku, dia sukanya yang biasa saja sepertinya," "Tahu apa Kakak? Siapa tahu Tuhan justru menjodohkan Kak Willi dengan Kak Auro?" "Auro itu teman kecilku, Alma, aku tahu betul sesenang-senangnya dia kepada seorang teman, mata Auro tidak mungkin membohongiku bahwa dia punya perasaan. Papi bahkan pernah hampir menjodohkan kita, namun yang kudapat hanya kemarahan Auro seperti mengatakan kepadaku yang pantas untuk dia adalah laki-laki selain aku." "Mungkin karena waktu itu masih marahan, jadi kak Auro nolak," "Tidak, tidak. Aku juga tidak ingin menikahi perempuan tidak waras seperti Auro. Kami benar-benar tidak cocok sebagai pasangan, kami cocoknya hanya sebagai sahabat terbaik masing-masing saja!" "Ahahah, nggak tahu deh Kak Auro bakal marah atau seneng denger kakak barusan," "Kalau suatu hari kamu ketemu dia, tolong jelaskan ke Auro aku sangat menyayanginya. Aku akan lakukan yang terbaik untuk melihatnya bersorak di tribun karena melihatku memenangkan pertandingan juga, dan dia tidak akan bisa meninggalkanku atau membenciku lagi," 🥀 -DZEMILA (Aurora 2)
9 parts