Naraya sama sekali tidak merepotkan Bima. Mual muntah bolak balik ke kamar mandi dari bangun tidur sampai pukul sepuluh pagi. Bima membawanya pulang, atas alasan kenyamanan.
Ingin menyuruh wanita itu diam di rumah, tapi Bima masih segan.
"Mau apa?" Naraya menatap bingung laki-laki itu. Ada satu botol minyak kayu putih di tangan Bima.
Apa lagi? Batin Bima. Minyak kayu putih untuk digosok di badan bukan diminum.
"Aromanya menenangkan. Dedek pasti suka."
Saat Bima hendak menyingkap bajunya, Naraya menahan lengan laki-laki itu.
"Saya bisa sendiri."
Semua sendiri, Bima tidak ingin dirinya merasa bersalah ke depannya.
"Saya suamimu." dua kata yang dikatakan Bima menambah buruk mood Naraya.
Turun dari ranjang menahan rasa pusing, wanita itu masuk ke kamar mandi.
"Apakah tangan saya bernajis?" setelah mengatakan itu, Bima menyesal. Disangkanya Naraya menghindar.
Berdiri di belakang Naraya, Bima memberanikan diri mengusap tengkuk wanita itu.
Naraya muntah, mengeluarkan lendir dan ludah. Pagi ini belum ada sedikitpun makanan masuk ke lambungnya.
Tungkai kakinya terasa lemah, karena berdiri terlalu lama. Wanita itu bahkan tidak menolak saat Bima menggenggam tangannya menuntun ke luar dari kamar mandi.
Tanpa berkata-kata apa lagi, Bima menyingkap baju Naraya dan membalurkan minyak kayu putih.
"Ini hanya sementara." bisa dirasakan lemahnya suara Naraya saat wanita itu berbicara.
"Bukan saya yang mau."
Bima mengabaikan himpitan kuat di dadanya. Mendengar barisan kalimat Naraya yang tidak menganggap posisinya.
"Dia tidak harus hadir." Naraya benci sepupunya, bukan pada janin yang tengah dikandungnya.
"Saya menyayangi kalian."
Mata Naraya melihat wajah Bima yang masih fokus pada perutnya.
"Selama ada dia di sini," lanjut Bima mengusap lembut perut bagian bawah Naraya. "Saya juga akan ada di sampingmu." dan akan membuatmu terbiasa dengan kami.
"Jangan meyakinkan."
Tatapan mereka beradu. Bima tidak tahu maksud Naraya.
"Saya bukan wanita penunggu kisah manis." lebih baik bermain dengan logika, dari pada menyentuh rasa yang akan berakhir dengan darah dan air mata.
"Karena saya tidak pantas?"
Naraya tidak mengatakan seperti itu. "Karena saya tidak menginginkan komitmen." apalagi beradu rasa. Pengalaman masa lalu telah mengajari langkahnya.
"Kamu boleh pergi."
"Saya akan di sini."
Naraya ragu. "Tidak akan bisa." matanya terpejam. Lemah, bawaannya ingin tidur.
Bima tidak bisa menebak, apakah wanita itu tidak ingin bersama membesarkan anak-anak hingga menua bersama?
Bertahan akan sulit, jika salah satu tidak menginginkan. Naraya akan melakukan itu. Kebaikan bukan di tangan Bima, melainkan di tangannya. Naraya lupa, jika rencananya tidak akan bisa melangkahi takdir Tuhan.
Di sampingnya Naraya tidak merasakan pergerakan. Berarti Bima masih berada di sisinya. Naraya tidak tahu apa yang dilakukan laki-laki itu, tapi cukup mengerti keinginan Bima namun tak bisa meyakinkan hatinya. Dan yang terpenting, hati Naraya tak mudah diyakinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Penguasa (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
General FictionJatuh, bangun. jatuh dan bangun lagi untuk berjuang hingga titik darah penghabisan. Bait ke berapa dalam sejarahnya, hingga wanita itu dikenal kejam dalam mengambil keputusan?