17

8.7K 1K 76
                                    

Hubungan Naraya dan Bima kembali seperti dulu. Bima sebagai karyawan dan Naraya pimpinan tempatnya bekerja. Asumsi yang hampir menggalaukan logika dan berhasil ditepis oleh keduanya, terutama Naraya.

Karena satu malam, tidak mungkin pandangannya pada dunia berubah.

Setiap malam Naraya akan pulang ke rumah mengistirahatkan tubuhnya dan pergi pagi-pagi buta.

“Sampai kapan mau begini?”

Keadaan masih terlalu pagi, dan Bima melihat Naraya sudah rapi siap berangkat ke kantor.

Mendengar suara Bima, Naraya menoleh ke belakang. Tanganya tidak jadi membuka pintu utama untuk keluar.

“Sudah satu bulan. Apakah tidak akan ada perubahan?”

Sudah lama Bima tidak melihat Naraya membalas tatapannya. Laki-laki itu tidak memiliki kesempatan khusus selain pertemuan mereka di kantor. Dan itu cukup jarang, karena Naraya mewakilkan semua kepentingan yang berurusan dengannya pada Damar.

“Atau kamu ingin membuat saya lebih tahu diri.” Sedikitnya, Bima menghilangkan formaliatasnya. Dilihat dari segi agama dan hukum ia berhak atas wanita itu.

Karena menghargai Naraya, Bima menjaga batasannya.

Tapi, semakin ke sini rasanya Naraya membuat kewajaran itu terlihat memudar.

“Seperti yang kamu bilang, hanya di atas kertas.” Bima menunduk sebentar. Ia akan mengatakan, “Mungkin sudah waktunya kita tidak melihat kertas itu lagi.”

Sudah cukup. Bima tahu, Naraya memahami maksudnya.

“Kamu terlihat pede.” Komentar Naraya tidak menyinggung perasaan Bima.

“Skala baru sudah berhasil, dan jabatan kamu juga sudah naik.”

“Kamu yang melakukan,” sela Bima dengan tenang.

“Semoga sekretarismu bisa menyenangkanmu.”

Bima menghargai. “Mita bekerja dengan baik selama satu minggu ini. Pilihan saya tidak salah.”

“Tentu.” Naraya membuka pintu.

“Tapi, bukan itu yang ingin saya dengar.” Fokus Bima tidak akan bisa teralihkan.

“Saya tidak akan mengatakan apapun,” kata Naraya tanpa menoleh lagi.

“Kalau begitu biar saya yang mengatakannya.”

Gagang pintu sudah berada dalam genggaman Naraya.

“Dari awal, saya yang salah membawamu ke rumah sakit dan membuatmu melakukan hal yang sama sekali tidak kamu inginkan.” Bima memperjelas.

“Saya juga mau tinggal di rumahmu, atas permintaanmu.”

Naraya menarik nafasnya. Apa yang akan dikatakan Bima, sudah diduga olehnya.

“Hidup kita akan normal jika sama-sama membuka diri.” Bima melanjutkan. “Apakah kamu tidak mau punya rumah tangga normal?”

Lima detik berselang, Bima tidak mendengar jawaban Naraya. “Kalau tidak---“ mata Bima melihat ke arah gagang pintu digenggam erat oleh Naraya.

Naraya tidak sadar, jika Bima sudah berada tepat di belakangnya. Ia juga tidak tahu, jika Bima merasakan deru nafasnya.

“Pantaskah saya berpikir untuk pergi setelah menyentuhmu?”

“Bukan maunya kita.”

“Saya tahu. Tapi saya bukan laki-laki bajingan.”

Bima ingin melupakan anggapan orang-orang yang mengatakan Naraya wanita bebas dan berkuasa. Hubungannya dengan wanita itu sah dan diakui negara.

“Saya sudah terlambat.” Naraya tidak ingin berbicara atau mendengar hal yang bisa mengacaukan pikirannya.

Cukuplah satu bulan yang lalu ia merasa menjadi budak. Kini ia tak ingin lagi.

Ia tahu kapasitas dirinya. Tahu langkahnya akan menetap dimana tanpa mau diperintah oleh hati. Ia akan menggunakan logikanya seperti dulu.

Prinsipnya yang membuat ia bisa bertahan hidup di dunia yang kejam ini. Tak perlu repot-repot mengecapi apa yang dirasakan hatinya.

Cukup dia yang mati karena cinta. Naraya tidak mau mengulang kesalahan dia.

Bima menarik tangan Naraya, hingga tubuh wanita itu terbalik dan berada tepat di depan Bima.

“Kita sama-sama tahu, jika hati kita belum mengambil peran penting dalam hubungan ini.” Sudah dikatakan oleh Bima cukup satu bulan wanita itu mendiamkannya. Jangankan di rumah, di kantor, Naraya sedikitpun tidak melihatnya.

Bima tidak tahan.

“Tapi kita sudah dewasa, tidak salahnya membuka diri untuk kejelasan.”

Akan berapa lama lagi mereka diam-diaman? Waktu akan terus berlalu. Setidaknya, ada sedikit kejelasan.

“Katakan. Apa maumu? Saya akan melakukannya.”

Bima harus melihat wajah datar Naraya.

“Tidak ada.”

“Kalau tidak ada, kita akan dirumah seharian ini sampai kamu mau mengatakan maumu.”

“Kamu lupa.”

“Tidak. Saya masih sadar. Kamu atasan saya. Untuk saat ini saya tidak ingin menganggapnya seperti itu.”

Dingin wajah Naraya sudah biasa dilihat Bima. Di kantor maupun di rumah.

“Saya ada meeting.”

“Jangan buat saya gila, Naraya.” Bima mendesis. Wanita itu tidak mengatakan apapun setelah mendengar kalimat panjangnya sejak dari tadi.

“Saat di Kalimantan.” Tidak. Naraya tidak meneruskan ucapannya. Ini salah. Kenapa laki-laki itu menjadi aneh pagi ini?

“Kenapa diam?” tangan Bima masih memegang lengan Naraya, namun tidak seerat tadi.

“Saya sudah berpikir saat kamu di sana.” Naraya mengubah topik. Kali ini, ia ingin mengutuk dirinya sendiri.

“Kamu pantas melanjutkan hidupmu.”

Apa ini? Bima melepaskan tangan wanita itu. Hatinya menyentuh tanah. Ucapan Naraya membuatnya sadar arti dirinya di mata wanita itu.

“Kamu ingin bercerai.” Itu sebuah pernyataan. “Maaf sudah memaksamu.” Mata Bima tidak lagi melihat Naraya. “Terimakasih sudah mau berbicara.” Laki-laki itu berbalik.

Sedih? Tidak. Untuk saat ini, ia kehilangan pegangan. Mungkin. Atau atap rumahnya yang roboh. Bima hanya kebingungan.

Tidak disadari oleh Bima, jika Naraya berlari masuk ke kamarnya.

Bima sedang kalut. Saat berbalik, ia tidak lagi melihat wanita itu.

Dia pergi. Bima baru sadar. Naraya wanita disiplin. Prima Nusantara adalah tujuan hidup wanita itu.

Bima tidak sanggup menggapai batasan tinggi yang dibangun oleh Naraya.

Semuanya sudah jelas. Mereka tidak perlu ruang lagi untuk saling bertukar pikiran. Naraya sudah mengatakan keinginannya dengan jelas.

Terimakasih untuk waktu yang telah ibu luangkan. Tak terisi penuh, tapi kita tahu alasannya. Jangan salahkan takdir, mungkin waktu yang salah karena langkah terburu kita.

Sekedar ibu tahu, rumah ibu tempat ternyaman.

Saya pergi.

Secarik kertas itu tidak disentuh oleh Naraya. Ia hanya perlu membaca. Secarik kertas itu, diletakkan pemiliknya di bawah vas bunga kecil di meja makan.

Secarik kertas itu, tidak membuatnya putus harapan. Menunduk, ia melihat ke arah perutnya.

Kenapa bermain terlalu jauh?

Lupa, jika aku manusia tak punya hati?

Wanita Penguasa (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang