Bima berada di depan wanita yang sudah berstatus sebagai istrinya dua malam yang lalu. Kini, keduanya berada di kamar, atas permintaan Naraya yang meminta penjelasan atas jejak panas yang ditinggalkan lelaki itu.
"Sumpah. Saya tidak sengaja." Mata Bima menatap takjub jejak-jejak itu. Ia hampir menggigit bibirnya, jika saja tidak melihat Naraya yang tengah membidik tajam manik pekatnya.
"Saya minta maaf, sekalipun saya sudah bilang sebelum Ibu mengajak saya tidur bersama."
Bima merutuk dalam hati. Awalnya ia memang tidak sadar, tapi saat Naraya mendesah dalam tidurnya, sepenuhnya ia sadar dan cukup terkejut mendapatkan dirinya berada di atas wanita itu.
Bima laki-laki dewasa. Meskipun tidak pernah membayangkan sosok atasannya dalam mimpi, bukan berarti ia bisa lurus. Mungkin alam bawah sadarnya yang membuatnya untuk melakukan hal itu.
"Satu minggu."
Bima mengerti, jejak itu akan menghilang dalam waktu satu minggu. Tapi, ia sudah bersumpah tidak sengaja melakukannya.
"Apa saya harus bertahan se-lama itu di sini?"
"Ibu boleh pulang. Saya akan mengurus tiket pesawat."
Naraya mengerjap, mendengar jawaban Bima. Iya. Dia harus pulang.
"Kita bisa mengakhirinya di Jakarta."
"Mengakhiri apa?" tanya Naraya dengan nada dingin.
"Pernikahan ini."
Naraya menimbang. Bukan tentang jawaban Bima, melainkan sikap gentle laki-laki itu.
"Baiklah. Dapatkan jawaban almarhumah ibu. Setelah itu kita bercerai."
Bima mengernyit. Bagaimana bisa dirinya mendapatkan jawaban orang yang sudah meninggal? "Artinya, Ibu tidak mau bercerai dengan saya?"
Kalimat jujur Bima, ditanggapi dingin oleh Naraya. "Saya tidak pernah main-main."
Bima tidak mengerti. Sikap Naraya dingin terhadapnya, dalam satu kebingungannya, wanita itu juga tidak mau berpisah.
"Ini pertama kalinya buat saya." Naraya mengatakan dengan nada datar. Tidak perlu menjelaskan, jika dirinya juga tidak mengenal almarhumah ibu karyawannya hingga mengikat mereka dalam satu akad.
Semua terjadi secara tiba-tiba, keadaan yang membuatnya harus menikah dengan karyawannya.
"Kita hanya menikah. Bukan berbagi tubuh."
Bima semakin tidak mengerti. Apa yang diinginkan Naraya belum bisa dicerna olehnya. Menurut kalimat Naraya yang diartikan oleh Bima adalah wanita itu tidak ingin mempermainkan pernikahan, tapi dalam satu sisi yang sama atasannya itu juga tidak mau berhubungan dalam arti yang sebenarnya dalam ikatan ini. Lantas untuk apa mempertahankan akad yang tidak dikuatkan oleh rasa juga ingin yang kuat?
Bukan maksud Bima memanfaatkan kesempatan.
"Baiklah kita bicarakan sekarang," kata Bima. Harus dituntaskan sekarang, agar ke depan ia tidak melakukan kesalahan yang sama seperti tadi malam.
"Katakan, batasan yang tidak pantas saya lewatkan." Mengatakan hal itu, Bima menatap mata dingin Naraya. "Nanti saya juga akan menyebutkan batasan untuk Ibu."
"Semacam kontrak?"
"Anggap saja seperti itu." Bima membenarkan. Cukup tadi malam, tangan dan bibirnya menggerayangi wanita itu. Ia masih sayang kedua tangannya. Apalagi bibir seksi limited edition miliknya.
Naraya menimbang. Keputusan membuat batasan itu sangatlah diperlukan, mengingat kejadian semalam, dirinya tidak bisa mempercayai laki-laki itu.
Naraya bukan wanita yang tabu tentang seks, tapi melakukannya dengan Bima, karyawannya, wanita itu menyangsikan kewarasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Penguasa (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
Ficción GeneralJatuh, bangun. jatuh dan bangun lagi untuk berjuang hingga titik darah penghabisan. Bait ke berapa dalam sejarahnya, hingga wanita itu dikenal kejam dalam mengambil keputusan?