5

7.3K 1.2K 35
                                    

Kedatangan Naraya ke apartemen, jelas membingungkan Bima. Selama lima tahun bekerja di Prima ini kali pertama ia didatangi seorang direktur. Dan direktur itu adalah atasannya.

Sempat mendengar perihal pernikahan yang diucapkan oleh ibunya. Dan, reflek Bima bertanya, "Siapa yang menikah?"

Kemuning, ibu Bima melihat ke arah suara. Pun Naraya.

"Datang-datang, bukan salam. Kebiasaan. Ini..." Kemuning bingung harus menyebut apa pada Naraya. Nama wanita itu juga belum diketahuinya. Akhirnya, Kemuning lanjut menegur putranya, "Tamunya ya disapa dulu. Kamu ya, suruh datang si Neng cantik tapi nggak ngasih tahu Ibu."

Erjapan mata Bima terasa tidak enak. Ibunya tidak tahu kalau wanita yang duduk di samping adalah, "Ini atasan Bima, Bu."

"Atasan?"

"Maksudnya bos di tempat Bima bekerja." Bima menjelaskan tamu yang dimaksud ibunya. Dari tempatnya berdiri, ia sudah mengerti tatapan tajam dari wajah dingin Naraya.

Mata Kemuning, ibu Bima berbinar. Bos Bima? Sehebat apa anaknya bisa mengencani orang nomor satu di Prima Nusantara?

Untung dirinya selalu baik pada semua tamu yang berkunjung ke apartemen.

"Boleh Bima berbicara dengannya?"

"Tentu," jawab Kemuning dengan cepat. Ada banyak hal yang harus dibicarakan keduanya agar proses pembuatan bayi bisa segera terealisasikan.

Bima duduk selang satu sofa dengan Naraya. Walau tatapan menusuk Naraya tidak enak untuk dipandang, hatinya bersikeras untuk menanyakan kedatangan atasannya itu.

"Sebelumnya, saya minta maaf kalau ibu saya membuat ibu tidak nyaman."

Naraya tidak butuh basa-basi dari karyawannya itu. Untuk apa juga laki-laki itu pulang. Ia sudah memastikan puluhan dokumen untuk diselesaikan Bima malam ini.

"Bukannya kamu lembur?"

Bima mengerjap sekali. Naraya tahu dirinya lembur?

"Benar. Saya pulang sebentar untuk menjenguk ibu saya."

Dari tempatnya duduk, Naraya bisa melihat kotak nasi dari restoran ternama yang dibawakan oleh Bima.

Mengerti dengan tatapan atasannya, Bima menjelaskan jika ia membeli makan malam untuk ibunya, dan akan kembali ke kantor setelah mengantarkannya.

"Kamu tinggal dengan ibumu?"

"Benar."

Tatapan Naraya kali ini, tidak setajam tadi. Namun wajahnya masih sama dingin. Selang beberapa detik, ia bangun dan siap meninggalkan apartemen karyawannya.

"Kalau boleh saya tahu, kenapa Ibu datang ke tempat saya?"

Tatapan datar Naraya bertubrukan dengan mata elang Bima. "Apa perlu alasan mengunjungi seseorang?"

Ingin sekali Bima mengembalikan kata-kata atasannya dengan jawaban menohok.

"Saya cuma bertanya. Mungkin, Ibu membutuhkan sesuatu makanya mau mampir ke tempat saya."

Mengesalkan saat sikap acuh terkesan angkuh, harus dilihat Bima dari seorang atasannya. Apa, sikap wanita itu tidak bisa diubah saat sedang berada di luar?

"Kamu cuma punya Ibu. Jadi tidak ada beban setelah saya memecatmu."

Memang tidak ada beban, tapi harga dirinya sebagai karyawan berprestasi di jatuhkan ke dasar bumi oleh Naraya. "Sekalipun bukan di Prima, lambung saya tidak akan kosong."

Naraya tidak suka dengan ucapan Bima. Lupakah laki-laki itu pada perbuatannya?

"Apa hukuman yang diberikan sesuai dengan kesalahan saya?"

Wanita Penguasa (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang