"Bagaimana perjalanannya?"
Naraya tidak menggubris pertanyaan Damar yang bertanya di luar jangkauan pekerjaannya.
"Bima bisa dijadikan teman jalan 'kan?" Damar kembali melontarkan tanya. "Antara Bima dan aku siapa yang tepat jadi---"
Kaki Naraya berhenti ketika melihat pintu ruangannya terbuka. "Siapa di ruanganku?"
"Oh itu. Aku rasa Bima mulai menggencarkan serangan dadakan." Damar lupa memberitahu jika ada tamu untuk Naraya.
Tatapan Naraya, menuntut penjelasan dari Damar.
"Ibu Bima. Sudah menunggumu setengah jam yang lalu."
Untuk apa ibu karyawannya datang?
"Kembali ke ruanganmu."
Tentu Damar tidak mau. Dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri. Mungkinkah ada perkembangan setelah perjalanan kemarin?
"Tunggu apalagi?"
"Mungkin kamu membutuhkanku, Nay." Damar menjawab dengan tatapan memohon.
Sumpah, sejak melihat ibu Bima datang tadi, ia sudah penasaran. Apalagi saat si ibu mengatakan sudah membuat janji jauh-jauh hari dengan sepupunya itu.
"Tinggalkan aku."
Dingin titah Naraya, membuat Damar tidak bisa berkutik. Dengan hati kesal ia meninggalkan Naraya, menunda rasa ingin tahunya.
Masuk ke ruangannya, Naraya disambut hangat oleh ibu Bima. Wanita tua itu membawanya ke sofa tanpa melepaskan genggaman tangannya.
"Tiga hari di sana, Bima tidak mengatakan apapun?"
Naraya menggeleng, ketika mendapatkan pertanyaan itu.
"Kalian ke Prancis benar-benar kerja?"
"Iya," sahut Naraya datar.
"Bima tidak membahas rencana ke depan?"
Rencana apa? Yang ada dirinya yang sudah membuat rencana untuk Bima.
Melihat ibu karyawannya termenung, Naraya meninggalkannya sejenak. Ia akan membuatkan secangkir teh. Tanpa disadarinya, ibu Bima mengikuti dari belakang.
Ketika akan menyeduh teh, Naraya terkejut mendengar suara ibu Bima.
"Dari dulu, Bima tidak pernah serius dengan wanita."
Naraya membalikkan tubuhnya.
"Tapi saat pertama kali melihatmu, Ibu tahu. Kamu akan diperlakukan berbeda dengan wanita yang lain."
Argumen ibu Bima didengar oleh Naraya saat ia melanjutkan kegiatannya.
"Tidak perlu melihat dua kali. Ibu sudah yakin, kamu tipenya Bima."
Ditangan Naraya sudah ada secangkir teh. "Mau minum di sini saja?"
"Di luar saja. Bima pasti sudah menunggu kita."
Dan Naraya benar-benar melihat Bima ketika ia keluar dari kamarnya.
"Ibu kenapa di sini?" Bima menarik lembut ibunya. Pikirannya sudah tak karuan saat menerima panggilan dari wanita yang telah melahirkannya sepuluh menit yang lalu.
"Ibu sudah ada janji dengan calon menantu Ibu. Sekalian Ibu telpon kamu. Biar bisa bicara dengan kalian."
Wajah Bima pucat saat mendengar ucapan ibunya. Dirinya tidak sanggup melihat Naraya. Bagaimana ekspresi atasannya itu, Bima tidak tahu.
"Bu," panggil Bima. Dadanya terasa penuh.
"Keberangkatan kami ke Prancis, karena ada masalah yang menimpa perusahaan." Naraya mengatakan kebenarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Penguasa (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
General FictionJatuh, bangun. jatuh dan bangun lagi untuk berjuang hingga titik darah penghabisan. Bait ke berapa dalam sejarahnya, hingga wanita itu dikenal kejam dalam mengambil keputusan?