.
Secercah sinar, memaksa masuk melalui celah gorden berjendela kaca. Ruang televisi yang berbatasan langsung dengan taman samping rumah besar milik Naraya, tak lagi gelap seperti semalam.
Pemandangan baru, mengartikan keadaan lazim. Sepasang suami istri masih terlelap dalam balutan telapak meja. Mereka baru saja melewati malam panas, sekaligus malam pertama.
Bima yang pertama kali menyadari kesalahan yang mereka lakukan. Kesalahan halal, tapi sangat bertentangan dengan prinsip Naraya.
"Saya sudah menolak, Ibu yang memaksa saya." kalimat pertama yang diucapkan Bima saat melihat sepasang mata Naraya terbuka.
Wanita itu merasa sakit di sekujur badan. Ia belum menyadari apa yang telah terjadi.
"Sudah jam berapa?"
Bima menggeleng. Ia tidak menemukan jam. Dalam hati, laki-laki itu tengah menghitung waktu, siap mendengar teriakan atau tamparan. Mata laki-laki itu terpejam. Untung-untung tamparan, bagaimana kalau wanita itu memutilasinya?
Posisi mereka hanya berjarak dua jengkal, Naraya mengerjap. Ludahnya tak bisa tertelan.
Ada yang beda. Motif selimutnya, kenapa bercorak kotak abstrak? Kapan dirinya menggantikan selimut?
Bayangan demi bayangan sedikitnya mulai mengisi ruang memorinya.
"Saya mau ke kantor."
Bima mengangguk pelan, matanya tetap awas melihat sosok wanita yang telah menyempurnakan setengah agamanya, duduk menyamping darinya.
"Ibu bangun saja. Saya akan menutup mata."
Naraya belum gila. Bagaimana bisa ia bangun dalam keadaan seperti ini? Dalam keadaan waras ia tidak akan berlenggok dengan tubuh tanpa ditutupi oleh sehelai benang-pun.
"Tidak bisa."
Bima juga tidak bisa. Tadi malam saja, dalam keadaan setengah sadar, antara iya dan tidak mendengarkan Naraya memuja tubuhnya, sudah cukup merinding.
"Ibu lari ke kamar mandi belakang, nanti saya bawakan handuk."
Naraya tidak ingin mengambil opsi yang diberikan Bima. Yang benar adalah, "Masuk ke kamarmu, saya tidak akan melihatmu."
Bima juga tidak mau. Matanya melihat dengan jelas pundak putih mulus wanita itu, penuh dengan jejak panas darinya. Bagaimana kalau wanita itu melihatnya nanti?
Bima mengedarkan pandangannya, mencari apa yang bisa dijadikan penutup untuk sementara. Ke mana pakiannya? Kenapa tidak terlihat satupun benda miliknya? Di mana ia meletakkan bajunya?
Ah. Bima ingat. Naraya yang membuka. Bukan dirinya. Dan, benda itu ada di kamar wanita itu.
Saat mata Bima melihat meja televisi, ia terkejut. Di atas meja itu tidak ada lagi televisi. Benda itu sudah tergeletak di lantai dengan keadaan yang cukup mengenaskan.
Tunggu. Bima menelisik dengan benar kain yang dijadikan selimut. Tidak asing, sepertinya.
"Tunggu apa lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Penguasa (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
General FictionJatuh, bangun. jatuh dan bangun lagi untuk berjuang hingga titik darah penghabisan. Bait ke berapa dalam sejarahnya, hingga wanita itu dikenal kejam dalam mengambil keputusan?