Seperti dugaaan Naraya, kedatangan Bima ke ruangannya untuk bernego tentang pemecatan pria tersebut. Rekor apapun yang sudah dicetak Bima Brawijaya di perusahaannya, tidak akan membalikkan keputusan yang telah dibuat Naraya.
"Seperti yang saya katakan tadi pagi. Saya akan menyelesaikan sketsa baru Royal sebagai tanggung jawab saya pada perusahaan."
Naraya cukup memperhatikan gerak rahang juga pergerakan bola mata laki-laki yang sedang menjelaskan perannya di perusahaan, sekalipun itu semua tidak penting bagi Naraya. Naraya bisa menilai seseorang dalam sekali tatap. Tidak perlu penjelasan panjang lebar.
"Kalau menurutmu, yang kamu lakukan itu bukan sebuah Kesalahan, apakah saya akan sekeji ini?" secara tidak langsung Naraya sudah menyebutkan salah satu sifat baik karyawan yang berani menghadap dirinya.
Tergantung pada kebijakan yang akan diputuskan Naraya. Wanita itu bukan tipikal wanita pada umumnya. Tidak ada belas kasih darinya, jika ada kesalahan di perusahaan.
"Saya minta maaf atas kekeliruan tim saya."
"Maaf tidak akan menyelesaikan masalah. Lulusan Harvard tidak akan seteledor ini."
Bima menelan ucapan atasannya. Namun tidak untuk kelanjutan kalimat ini, "Pemerintah tidak membayar pendidikanmu, karena keterangan kurang mampu, kan?"
Bima akui, tidak mudah untuk masuk ke Prima Nusantara. Seleksi ketat ia tempuh dengan gigih hingga perusahaan mengakui keberadaannya. Usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Itulah yang diperoleh Bima setelah menempuh pendidikan di Harvard. Kemampuan akademiknya diakui di universitas , dan dibuktikan olehnya saat ia bekerja di perusahaan sebesar Prima Nusantara milik seorang wanita dengan talenta terunggul bertangan besi.
"Saya lulus karena nilai akademik. Ibu bisa review dokumen saya."
Tidak perlu. Naraya hanya butuh, "Selesaikan sketsa. Setelah itu, berikan kepada saya. Akan saya buktikan sebesar apa Royal menggilai-mu."
Cukup tajam. Tidak ada telinga yang sanggup mendengar kalimat yang dilontarkan Naraya. Ini kali pertama, Bima berbicara langsung dengan atasannya. Dulu, hanya bertahap muka saat rapat penting atau bertemu tanpa sengaja saat pintu lift tertutup. Tidak ada yang berani menghadap wanita itu dalam keadaan apapun. Apalagi saat tertangkap basah melakukan kesalahan.
Karyawan Prima, memilih hukuman mati jika mereka melakukan kesalahan fatal di perusahaan yang dibangun oleh wanita penuh ambisi tersebut.
Bukan asal masuk dengan dokumen yang memamekan angka akademik terbaik, atau koneksi terpercaya. Seleksi pegawai Prima Nusantara dalam pengawasan ketat. Ada kontrak yang harus ditandatangani oleh karyawan jika ingin mengabdi di Prima. Salah satunya, bersedia dihukum baik secara undang-undang maupun sosial hingga nyawa menjadi taruhan. Tentunya, semua keringat mereka dibayar sepuluh kali lipat dari gaji karyawan di perusahan lainnya. Ada kebijakan dari Naraya untuk keluarga karyawannya selama bekerja di Prima. Sekarang katakan, apa wanita itu, layak dikatakan kejam?
Prima Nusantara bergerak di bidang desain arsitektur, interior, kontruksi juga properti.
Jadi, lingkup pebisnis andalan harus dikuasai karyawan. Kecakapan dibutuhkan dalam bertugas, untuk meningkatkan kualitas perusahan. Jelas sekali, Prima memilih orang-orang berbobot. Lantas, kenapa kali ini ia kecolongan? Secara tidak langsung, kepala staf yang menyebabkan kekacauan itu terjadi."Akan ada presentasi dengan beberapa tim sebelum sketsa diserah terimakan."
"Lakukan saja tugasmu. Arahan masih dibawah wewenang saya."
Bima menelan ludahnya. Sungguh, ia menyesal masuk ke ruangan yang membuat emosinya berada di ubun-ubun.
"Selesaikan dengan baik. Saya ragu, apakan ada belahan bumi yang akan menampung anak istrimu."
Sungguh. Bima menyesal. Kenapa ada wanita seperti atasannya di muka bumi ini?
"Serahkan salinan kontrakmu, paling lambat besok pagi."
Jelas besok pagi. Angka jam sore ini sudah lewat pukul 17.20. Jam aktif kantor sudah berakhir dua puluh menit yang lalu. Kecuali Naraya mau didatangi malam-malam khusus untuk sebuah kontrak.
Apakah umur dan kesendirian, membuat wanita itu terlihat mengerikan? Gumaman itu tersimpan rapi dalam benak Bima. Tidak mungkin. Ia juga masih sendiri. Tapi, tidak mengerikan seperti atasannya itu. Entahlah. Yang harus dilakukan Bima adalah menyelesaikan sketsa secepat mungkin dan mencari perusahaan yang mau mengakui kemampuannya. Tidak sebesar Prima, tidak apa.
Naraya memanggil Damar setelah Bima keluar dari ruangannya. Ada yang ingin diperjelaskan pada Damar tentang permintaannya usai rapat tadi. Salah satunya, "Malam ini berikan info tentang Bima Brawijaya. Aku tidak butuh salinan kontraknya. Paling telat jam 21.00."
Mencari informasi orang, dalam waktu tiga jam? Damar meragukan kemampuannya. Dalam hati, mengumpat sikap sewenang-wenang Naraya.
"Sekarang urus proses hukum kepala tim penyeleksi. Lakukan dengan baik." dingin ucapan Naraya, juga rendahnya suara wanita itu, menggelitik pundak Damar.
Dua pekerjaan penting dalam tiga jam. Demi tabung oksigen orang tuanya, semangat Damar kembali. Ia akan melakukan yang terbaik untuk seorang Naraya.
Hal pertama yang dilakukan oleh Damar adalah menunggu Bima Brawijaya di parkiran khusus kepala staf.
"Bapak menunggu saya?" yang dinanti tiba.
Dengan wibawanya, Damar mengangguk. "Kebetulan kita searah. Apartemen peluit kan? Turunkan saya di depan Garuda Food."
Tanpa pikir panjang, Bima membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan sekretaris atasannya duduk di bangku penumpang.
Jalanan malam, dilewatkan Bima juga Damar dengan obrolan ringan tanpa menyinggung permasalahan yang tengah dihadapi Bima. Hingga satu jam perjalanan mereka tiba di apartemen peluit yang merupakan tempat tinggal Bima yang juga berhadapan dengan restoran ternama yang menjadi tujuan Damar.
"Sebagai bentuk terimakasih, bolehkan saya mengirimmu makan malam?"
"Tidak usah Pak. Saya----"
Damar sedang terburu-buru, ia tidak butuh penolakan. "Saya sudah ditunggu oleh rekan saya. Berapa nomor unit-mu?"
"C70."
Selesai. Dan Damar bersiap melakukan tugasnya.
Hanya butuh waktu satu menit ia mengirimkan info pada Naraya. Kemudian ia bersiap pada tugas selanjutnya. Eksekusi ketua tim penyeleksi.
Sebelum jam berdentang di angka 21.00 Damar sudah menyelesaikan semuanya. Damar pikir, saat tugasnya selesai hari itu, ia bisa menikmati empuknya ranjang king size miliknya. Tepat jam 2 pagi, saat orang-orang tengah lena dalam mimpinya, sepupu yang berstatus atasannya menelepon hanya untuk mencerca di tengah malam buta.
"Kamu yakin umur se-tua dia belum punya anak?!"
jawaban Damar sebuah gumaman yang membenarkan tanya Naraya.
"Kamu nggak main-mainkan Mar? Aku sedang berada di ruang ICU."
Saat nama ruangan tempat papinya dirawat, disebut oleh Naraya, dengan cepat Damar duduk di pinggir ranjang.
"Jangan gila, Na! Aku udah cari sedetail mungkin! Kalau nggak percaya siap-siap aku jemput kamu sekarang! Kamu lihat sendiri piaraan anak sholeh itu!" tengah malam Damar berteriak. Jantungnya bertalu-talu setiap Naraya mengaitkan orang tuanya. Apa gunanya Naraya menyuruhnya mencari informasi kalau akhirnya wanita itu tidak percaya pada hasil yang ia berikan.
"Eum. Istirahatlah. Aku bersihkan busa dulu."
Suara air dari shower menari-nari di telinga Damar. Dalam hati, laki-laki itu mengumpat. Naraya selalu membuatnya takut. Dan Damar mengakui jika sepupunya itu cocok menjadi pembunuh berdarah dingin. Ia hampir mati jantungan saat Naraya menyebutkan ruangan ICU.
Aceh
15 agustus 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Penguasa (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
General FictionJatuh, bangun. jatuh dan bangun lagi untuk berjuang hingga titik darah penghabisan. Bait ke berapa dalam sejarahnya, hingga wanita itu dikenal kejam dalam mengambil keputusan?