2

9.5K 1.1K 18
                                    

Ruang rapat VVIP, rapat yang akan dipimpin oleh Naraya dan diikuti oleh 50 kepala staf tertinggi di Prima, termasuk Bima Brawijaya yang menjabat peran penting di perusahaan itu.

Tidak dipungkiri oleh peserta rapat, jika meeting kali ini akan berdampak pada masa depan mereka. Desas-desus tentang pemecatan karyawan dalam satu bulan ini cukup meragukan kinerja mereka di mata atasan.

Bukan 1 atau 2 orang, tapi hampir 20 orang karyawan yang terkena dampak buruk tersebut.

Bak dunia mencekam, keadaan mulai hening ketika suara stilletto memenuhi ruangan rapat tersebut.

Langkah pasti sosok wanita yang menjadi pemimpin Prima, memaksa kinerja keringat juga detak jantung peserta. Akan ada banyak tanya setelah argumen yang dilemparkan nanti. Bukan hanya itu, setiap rapat dadakan yang dilaksanakan atas perintah Direktur Prima tersebut, menyulutkan pertikaian batin sesama kepala staf.

Hal tak terduga, selalu mengisi rapat dadakan tersebut. Seperti ini, "Laporan kerugian akhir Juli tidak boleh menyentuh angka lima."

Kepala staf keuangan Prima meneguk ludah kasarya. Bukan angka lima yang dibawakannya. Melainkan 7. Bukan tanpa sebab, melainkan alasan  logis di saat pandemi saat ini.

"Kepala Staf pelaksana, silahkan angkat kaki dari ruangan."

Semua mata tertuju pada sosok laki-laki yang duduk paling ujung, tepat di samping Bima Brawijaya ketika Naraya mengucapkan kalimat kedua di pembuka rapat kali ini.

Naraya, wanita yang baru saja membebaskan salah satu karyawan terpenting di Prima, melabuhkan jarinya di atas layar tablet, yang menampilkan kurva keuangan laba rugi perusahaan.

"Saya tidak ingin memuji diri sendiri saat ini." Naraya melihat satu persatu karyawan yang sudah dipercayai untuk mengelola Prima bersamanya namun tidak berkompeten dalam melakukan kewajiban. "Bisa lihat, ribuan karyawan di PHK saat ekonomi sedang terjepit?" mata itu berhenti pada seorang wanita yang menyimak ucapannya dengan baik. Sekali anggukan Naraya mengagetkan seisi ruangan. "Saya memecat anda karena menyalahkan wewenang kekuasaan di Prima."

Iya. Wanita itu Nathalie. Kepala staf produksi di Prima.

"Apa saya harus mengikuti persidangan anda?" tanya Naraya masih melihat wanita yang baru saja di pecat olehnya.

Sebuah berkas melayang tepat di wajah Nathalie, berikut sebuah sindirian bermakna, "Sisa gaji berikut asuransi. Cukup untuk kehidupan keluargamu selama kamu menghuni sel."

Tidak ada kasak-kusuk, ruang rapat masih khidmat.

"Tidak perlu repot mendata pemasukan. Cukup kerjakan sesuai kebutuhan perusahaan." kalimat itu membuat para kepala staf menunduk.

"Prima bukan dinas sosial yang menampung jelata. Kami memilih orang-orang berbobot untuk menjalankan perusahaan." setelah ucapan ini, para kepala staf tahu apa yang akan terjadi.

"Laporan yang kalian berikan pada saya, tidak lebih dari secarik tisu toilet."

Entah bagaimana Naraya mengumpamakan kinerja orang yang telah dipercayainya.

Ia cukup teliti. Tidak ada yang salah. Kecuali ada yang menusuknya dari belakang.

Bukan satu atau dua tahun dirinya menjalankan bisnis. Wajar, jika kali ini Naraya merasa dipermainkan.

Sayangnya mereka tidak tahu, siapa yang sedang diajak berperang. Mereka lupa, atau sengaja mengundang petaka.

"Sematang apa persiapan kalian sebelum meninggalkan anak istri?"

Keringat dingin, juga wajah yang pucat mengisi rapat darurat tersebut. Mereka tahu, siapa pemimpin mereka. Tahu persis seperti apa Naraya itu.

Wajah dingin Naraya tidak tersentuh. Tidak ada yang tahu apa yang ada dalam benak wanita bertangan besi itu.

Namun, wajah itu semakin menegaskan aura dinginnya ketika sebuah suara menyela saat dirinya akan mengakhiri rapat tersebut.

"Bisakah saya berbicara empat mata dengan Ibu?"

Dia, Bima Brawijaya. Laki-laki yang sudah masuk daftar hitam perusahaan untuk ditindaklanjuti kesalahannya.

Damar melihat keberanian dari kepala proyeksi tersebut. Di saat semua orang diam menanti ajal, Bima dengan beraninya menyela.

"Bapak Bima Brawijaya. Anda mau bernego dengan saya?"

Dingin. Yang hadir di sana bisa merasakan aura ketegangan.

"Saya meminta waktu anda, Bu Naraya." Bima mengulang permintaannya.

Dalam rapat tadi, namanya tidak disebut Naraya. Permintaannya berkaitan dengan banyak hal. Terlebih proyek yang tengah ditanganinya.

Naraya tidak menanggapi permintaan Bima. Dengan pasti ia melangkah meninggalkan ruang rapat diikuti Damar juga kepala tim penyeleksi.

Dalam lift menuju ruangannya, Naraya kembali membuat sebuah keputusan besar.

"Bapak Yudhi. Saya rasa sudah saatnya anda pensiun dini."

Yudhi Irawan, 52 tahun. Kepala tim penyeleksi yang dipilih langsung oleh Naraya. Sepuluh tahun mendapatkan kepercayaan dari Naraya. Namun tidak lagi untuk saat ini.

"Tim yang anda seleksi menjatuhkan maruah saya sebagai pimpinan. Bersyukurlah. Karena saya menyuruh anda pulang ke rumah, bukan menguburkan anda di pembuangan limbah."

Keringat dingin mengucur. Bukan hanya dari Yudhi. Damar pun ikut merasakan hal tersebut.

"Saya sudah mencabut asuransi ibu anda."

Telak. Itu sebuah perkara besar. Hidup ibunya sudah bergantung pada selang oksigen.

Yang bisa dilakukan Yudhi sekarang,  bersujud di kaki Naraya. Tak apa jika dirinya kehilangan pekerjaan. Namun, sebelum niatnya terkabulkan, Naraya sudah keluar dari Lift dengan Damar, meninggalkan Yudhi dengan gumplan dosa.

"Kamu tahu darah?"

Damar meneguk ludahnya. Kakinya mengikuti langkah Naraya.

"Desir yang berwarna merah." Naraya menjawab pertanyaannya sendiri. Lantas ia memperjelas. "Dengan desir itu, aku bisa berdiri."

Langkah Damar semakin berat. Ketakutannya bukan karena dirinya melakukan kesalahan. Ia tahu apa yang telah dilewati sepupunya itu.

"Aku bertahan dengan ketulusan. Bukan tahta."

Damar mengusap lengannya. Saat kalimat itu terucap, ia tahu apa yang akan terjadi.

Akan ada banyak orang kehilangan pekerjaan. Tidak hanya itu, mereka juga akan kehilangan orang tercinta.

Itu kado dari Naraya untuk mereka yang berkhianat.

"Bawakan aku data Bima Brawijaya."

Naraya menghentikan langkahnya, saat melihat laki-laki yang tengah disinggung dalam obrolannya berdiri sepuluh langkah kaki di depan.

"Berikut anak dan istrinya," tambah Naraya sembari membalas tatapan laki-laki di depan sana.

Aceh
10 Agustus 2020

Wanita Penguasa (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang