10

7.5K 1.1K 73
                                    

"Sekali lagi saya minta maaf."

Naraya menatap laki-laki yang berdiri tepat di depannya, meminta maaf berulang kali. Alasan laki-laki itu berada tepat di depan rumahnya, karena hal mendesak yang tengah menimpanya.

"Kali ini, tolong. Tolong saya." Bima, laki-laki yang datang tengah malam buta ke rumahnya.

Bisakah Naraya mengabaikan raut luka mendalam di wajah karyawannya. Sedikitnya, wanita itu tahu, bagaimana sikap Bima pada wanita yang telah melahirkannya.

Di sisi lain, masalah ini sama sekali bukan urusannya. "Maaf."

"Plisss. Saya mohon." apakah Bima harus berlutut dulu untuk memohon pada atasannya?

"Kita tidak ada hubungan apa-apa."

"Saya tahu. Ini bukan tentang kita. Ini tentang ibu saya. Tentang hidupnya." wajah itu menegangkan. Pikirannya kusut pada selang yang ada pada tubuh sang ibu.

Berdiri di sini atas permintaan sang ibu. Bima memberanikan diri untuk memohon.

"Dia sekarat?"

Bima tidak menjawab. Ia hanya perlu membawa Naraya ke sana, agar keinginan ibunya bertemu dengan Naraya terkabulkan.

"Saya mohon."

Hanya bertemu dan melihat.

Mengunci pintu rumah, Naraya berjalan ke arah mobil yang dikendarai karyawannya.

Tidak ada obrolan selama dalam perjalanan. Lalu lintas yang mulai sepi, dimanfaatkan Bima  menambahkan kecepatan.

45 menit, mereka tiba di sebuah rumah sakit. Langkah tergesa Bima diimbangi oleh Naraya hingga berhenti di depan rung ICU.

Hanya bertemu.

Suara mesin penyambung nyawa, menusuk genderang telinga Naraya. Matanya tertuju pada seseorang yang terbaring di atas brankar yang tak lain adalah ibu karyawannya.

Mata wanita tua itu, masih terbuka. Naraya tidak tahu, apakah benar dirinya yang sedang dipandang oleh wanita itu. Ada seorang laki-laki paruh baya di sana.

"Dokter masuk?" tanya Bima saat melihat selang makanan ibunya tidak terpasang lagi.

"Ibumu meminta mereka melepaskannya."

"Kenapa Om tidak melarang mereka?"

"Ibumu ingin berbicara."

Bima merangkum tangan ibunya. "Aku membawanya. Ibu harus kuat." Bima mencium tangan renta itu. "Kita pasang lagi ya. Aku panggilkan petugas."

Kepala ibu Bima tak sanggup lagi menggeleng. Ia memberitahu putranya, "Ibu mau berbicara dengannya."

Naraya mendengar dengan jelas. Kakinya mendekat dan berdiri di samping Bima.

"Ibu baik-baik saja?" sapaan Naraya menciptakan senyum di bibir ibu karyawannya.

"Baik Nay." suara itu terputus. Nay melihat sesuatu. Tapi tak ingin membayangkannya.

Wanita Penguasa (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang