I said maybe (I said maybe)
You're gonna be the one that saves me
And after all
You're my wonderwall
"102.5 FM Big Radio Jakarta! That was Oasis with Wonderwall. Balik lagi bareng gue Okan, masih nemenin lo semua di kamis malam ini dalam segmen Hit Thursday ...."
Suara merdu sang penyiar dari lubang pengeras suara radio tape, kembali menemani Wika. Walaupun ia tidak begitu mendengarkan isi siarannya, setidaknya rumahnya jadi tidak terasa begitu sepi. Wika rebah sejenak di kasur selepas soal-soal LKS membosankan yang sudah ditunda-tunda dua minggu itu, ia tandaskan sekaligus.
Dering dan getar singkat dari ponsel polyphonic berlayar monokromnya memecah kebisuan. Wika menjemba benda itu dari atas nakas, membuka kunci layarnya dengan kode angka.
Ayah : seminggu lagi Ayah br bs plg ke rmh. Bi Narsih dua hr lg balik dr kampung. Mas Bagas gk jd plg jumat bsk, di kampusnya msh ad urusan dgn dosen. Km baik2 di rmh. Jgn lupa kunci pagar & semua pintu klo sdh mlm. Klo ada apa2 tlp ayah.
Begitu kira-kira pesan ayahnya yang ditulis dengan banyak singkatan-singkatan. Wajar karena ayahnya paling benci kalau SMS harus terpotong akibat kelebihan karakter. Tidak enak dibaca, begitulah yang akan beliau keluhkan.
Sudah sangat biasa tatkala rumah yang cukup besar itu akan terasa sepi di hari-hari Wika. Wisnu Sastrodiredjo—ayahnya—adalah seorang senior engineer di pengeboran minyak lepas pantai yang jarang pulang ke rumah. Bagas—kakaknya yang berkuliah di salah satu PTN di Malang—mungkin paling cepat hanya akan pulang tiap tiga bulan sekali.
Tak jarang, Wika hanya berakhir berdua di rumah dengan Bi Narsih, sang asisten rumah tangga. Namun, kali ini sialnya untuk sementara, Bi Narsih dari dua hari lalu harus pulang kampung. Ada kerabat dekatnya yang sakit. Alhasil, Wika kala itu benar-benar harus sendirian di rumah.
Bosan, keluhnya dalam hati.
Langit-langit kamar Wika tampak monoton, putih bersih. Lamunan Wika kembali melayang pada adegan tadi sore tatkala dirinya bertemu Sara di toko kelontong modern depan jalan besar itu. Sara yang terbayang di benak Wika, masih tampak berbeda dengan seragam kasirnya. Rambut sebahu yang biasanya selalu tampak tergerai, kala itu terlihat dikuncir kuda dengan anak-anak rambut yang mencuat-cuat sedikit.
Sudah berapa lama dia kerja di sana? Kenapa tidak pernah tahu? Apa karena selama ini Bi Narsih yang lebih sering disuruh ke sana tiap kali butuh membeli sesuatu?
Semua pertanyaan itu bersahutan di benak Wika. Ia pun sekali lagi masih takjub, setiap kali mengingat Sara dan dirinya yang tadi sempat mengobrol. Gadis itu bahkan yang mulai duluan dengan menanyakan perihal kegiatan sparring-nya.
Berkali-kali Wika mengingatkan diri untuk tidak boleh terlalu senang dulu. Berkali-kali ia berkata kalau mungkin Sara hanya basa-basi saja. Sejurus kemudian, Wika sontak membenamkan wajah pada bantal empuk di kasur.
Sial, cibirnya.
Wika benci desir-desir singkat yang menggelitik dadanya. Panas serasa menjalar singkat di kedua pipi tatkala ia ingat cokelat yang tadi ia berikan untuk Sara.
Gue norak nggak, sih?
Pertanyaan itu memang sempat terlintas di otak Wika. Untuk sesaat, ia pun jadi menyesali perbuatannya yang terlalu spontan itu.
Wika bangkit dari rebah. Ia tahu satu cara untuk mengenyahkan bayangan Sara dan gejolak hati yang tak pasti. Langkah Wika kemudian menuju salah satu ruang favoritnya—ruang baca milik mendiang ibunya.
Tak lama Wika pun bergegas tenggelam ketika lembar demi lembar aksara indah itu ia baca. Sapardi, Chairil Anwar, O'Hara, Bronte, Austen, Rumi, Khalil Gibran, Pramudya, Joko Pinurbo, coba sebut saja yang lainnya. Wika tahu dan sangat familier dengan nama-nama besar itu.
Cowok semacam Wika, dari penampilan luar dan kebiasaannya memang tak tampak seperti seorang pecinta buku dan karya sastra. Namun sesungguhnya, Wika bisa digolongkan sebagai anak yang sudah memakan lebih banyak buku sastra ketimbang anak seusianya.
Ya, tak ada yang tahu tentang hal yang satu ini. Wika memang pecinta karya sastra dan buku-buku. Di balik hiruk-pikuk kegiatannya sebagai pemain cabutan yang serba bisa di banyak bidang olahraga, sebagian dunia Wika yang sunyi memang ada di sana—diantara deretan buku-buku peninggalan ibunya dan aksara penuh makna.
Berjam-jam di malamnya, tak jarang akan ia habiskan di sana hingga akhirnya kantuk yang tak disadari membelai Wika sampai surya menyingsing kembali. Kalau ada insipirasi yang tersangkut di otaknya, tak jarang Wika akan langsung menuliskannya, menuangkan semua itu supaya mereka tidak berhamburan lagi.
Ada begitu banyak kisah dan sajak-sajak yang sudah ia tuangkan secara rahasia, tersimpan rapi di dalam lembar-lembar catatan pribadi atau di dalam folder rahasia dalam komputer tabungnya.
Ya, tak ada yang tahu Wika yang seperti itu. Tak ada yang tahu kecuali dirinya, mendiang ibunya, dan Sang Maha Kuasa.
-:-:-
KAMU SEDANG MEMBACA
Jumpa Dirinya (FIN)
Teen FictionWikana Sastrodiredjo (Wika)--entah apa yang dipikirkan kedua orang tuanya, tatkala menamainya dengan nama salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang namanya hampir terlupakan itu. Wikana yang pernah jadi bagian sejarah kemerdekaan Indonesia mema...