8

99 17 3
                                    

Sesuatu tiba-tiba sudah menyumpal telinga kiri Sara, irama gitar elektrik dan drum terdengar mengalun masuk ke pendengaran. Riani ternyata sudah ada di sebelanya, dengan disc player di genggaman. Si tomboy, dengan rambut pixie cut itu, tanpa diminta sudah berbagi earphone dan musik yang diputarnya. Sara sontak tersenyum.

'cause she's bittersweet

She knocks me off of my feet

And I can't help myself

I don't want anyone else.

"Asik, Ri. Lagu siapa, nih?" tukas Sara antusias ketika reff lagu yang diputar terdengar bersemangat dan easy listening.

Riani nyengir, frekuensinya ternyata tak jauh beda dari teman sebangkunya itu. Riani lantas mengangsurkan sebuah kotak CD pada Sara. Lima orang pemuda necis dengan setelan jas formal warna biru tua nampang di sampul kotak CD-nya. Beberapa diantaranya tampak berpotongan rambut mirip anggota Band The Beatles.

"Ooh, ini band yang jadi bintang iklan Nokia 3250 yang baru itu, 'kan?" seru Sara menyadari kalau grup musik itu memang pernah beberapa kali dilihatnya di salah satu iklan televisi. The Click five, begitu nama band unik yang sekarang lagunya masih mengalun di telinga Sara.

"Yes, exactly," Riani menjetikkan jemari, "mereka baru debut, langsung jadi MTV[1] artist of the month. Emang asik, sih, lagunya," jelas Riani semangat.

Just the Girl, terus mengentak dan semakin menyenangkan untuk didengar. Keduannya kemudian terdiam sembari kedua pasang mata mereka melihat ke arah lapangan yang ramai dengan siswa yang main sepak bola di bawah terik mentari.

Sosok Wika yang kemarin ditemuinya di minimarket tampak berjaga di depan gawang, kali itu ia bertugas jadi keeper. Di mata Sara, Wika memang aneh. Dia atletis dan sangat jago di banyak bidang olahraga. Namun, ia tidak pernah mau kalau diajak masuk ekskul olahraga apa pun. Meski begitu, Wika tak pernah menolak kalau tiba-tiba direkrut jadi pemain cabutan.

Selama ini Sara hanya tahu kalau Wika tak jauh berbeda dari kawan-kawan sekelasnya yang hanya memandang Sara sebagai si murid invisible yang lumayan kuper. Namun, sikap Wika yang kemarin benar-benar membuatnya tak sangka. Selama tiga tahun keberadaannya di kelas yang sama dengan Wika, Sara tak pernah mendapati Wika yang seramah itu depannya. Wika bahkan memberinya sebuah hadiah kecil—yang jujur—sudah membuat mood kerjanya jadi lebih baik kemarin.

Tak ingin berlama-lama berkubang dalam reka adegan kemarin sore, Sara segera memutus begitu saja pandangannya dari Wika—kembali melihat siswa-siswi lain yang memenuhi koridor dengan obrolan dan tawa mereka.

"Sar?" Riani menegurnya.

"Hm?" tanggap Sara, pandangannya masih tak lepas dari koridor yang ramai.

"Lo kenapa?"

Sara terdiam, Riani memang selalu peka dengan mood kawan sebangkunya itu. Riani sedari pagi, memang mendapati Sara terlihat kurang gairah.

Sara terdiam sejenak. Ia kembali mengingat pertengkaran dengan ibunya semalam. Sejujurnya, konflik itu sudah cukup mengganggu, bahkan hingga pagi tadi tatkala ia mendapati ibunya sudah kembali tertidur di sebelahnya dengan bau alkohol dan rokok yang menyengat.

"Nggak apa-apa, Ri," kilah Sara sederhana.

"Ck! Nggak usah ngeles, deh. Sekali-sekali cerita kenapa, sih."

Riani memaksa. Sara kemudian hanya kembali berkilah, kalau masalahnya bukan masalah besar.

"Pokoknya kalau suatu saat lo mau cerita sesuatu, cerita aja, Sar. Gue bakal dengerin semuanya, kok."

Riani kembali meyakinkan dengan penuh perhatian. Sara kemudian hanya kembali tersenyum, mengiyakan niat baik sahabatnya itu.

Ketika dua pasang langkah mereka menyusuri lorong—hendak kembali ke kelas—gerombolan siswa-siswi yang mayoritas adalah anak kelas tiga, tampak mengerubungi mading sekolah. Sara dan Riani mencoba melihat penyebab perkara kehebohan yang terjadi.

"Ooh, prom night," tukas Riani tatkala dilihatnya poster besar pengumuman acara sakral di akhir tahun itu terpampang di mading.

Masih ada kurang lebih dua setengah bulan lagi, tapi hawa-hawa antusiasme para murid senior sudah sangat membara. Malam puncak paling berkesan bagi para murid senior itu ternyata tak akan terlewat lagi tahun ini.

Ah, prom night. Malam di mana anak-anak populer berlomba untuk dinobatkan jadi ratu dan raja. Malam di mana para wall flowers membuktikan diri kalau mereka bukan pecundang dan bisa juga berdansa di tengah-tengah kerumunan. Malam di mana mungkin pernyataan cinta monyet yang sudah tiga tahun terpendam akan tercetus dari para pengagum rahasia.

Bagi mayoritas siswa, prom night mungkin akan jadi ajang penting sekali seumur hidup sebelum melepas masa remaja yang penuh warna dan suka. Akan tetapi, tidak bagi Sara. Memikirkan bagaimana mengumpulkan uang untuk beli gaun pesta saja sudah bikin sakit kepala. Prom night tidak sepenting itu baginya. Shift kerjaan di minimarket dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah, justru jauh lebih penting.

"Cabut, yuk, Ri," sergah Sara, yang kemudian bergegas menggamit lengan Riani. Langkah mereka pun, kemudian berlanjut lagi.

-:-:-

Catatan kaki :

[1] Sekitar tahun 2000-an saluran televisi MTV memang masih bisa dinikmati lewat saluran televisi lokal tanpa perlu berlangganan TV kabel.

Jumpa Dirinya (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang