Betapa leganya Riani ketika pada Senin di minggu berikutnya, Sara sudah kembali lagi ke sekolah—bertepatan dengan diadakannya try out kedua untuk persiapan Ujian Akhir Nasional. Masih terhitung empat minggu lagi sebelum momen sakral penentuan kelulusan bagi para murid senior itu diadakan.
"Sar, sebenarnya ada apa? Lo bisa cerita ke gue? Seminggu lebih lo ngilang, nggak ada kabar. Gue jadi sempat mikir yang enggak-enggak, tahu?" todong Riani begitu saja ketika Sara sudah duduk di bangkunya.
"Nggak ada apa-apa, Ri. Gue nggak kenapa-kenapa. Cuma penat aja sama sekolah."
Jawaban itu jelas terdengar tidak meyakinkan. Apalagi Riani sudah hafal betul, Sara orang yang sangat anti bolos sekolah kalau hanya dengan alasan penat belajar, sampai seminggu lebih pula. Riani benar-benar menaruh curiga dengan kawannya itu. Ditutup dengan senyum seperti apa pun, raut lesu serta bibir yang jarang melontarkan obrolan itu, sudah sangat menjelaskan pada Riani jika sesuatu yang serius telah terjadi pada sahabatnya. Akan tetapi, Sara memilih untuk tetap bungkam.
"Sar, please. Lo bisa cerita ke gue? Sebetulnya ada apa, Sar? Gue tahu, gue nggak akan bisa menyelesaikan semuanya. Tapi seenggaknya, gue pengen lo lega sedikit, Sar," bujuk Riani lagi.
"Gue nggak apa-apa, Ri. Beneran, deh. Mending siap-siap dulu, dikit lagi try out-nya mulai."
"Sar, please. Gue khawatir sama lo."
Entah mengapa, raut prihatin yang ditunjukkan Riani justru kian membuat Sara letih. Ia tak begitu suka melihatnya. Ia merasa begitu dikasihani dan dunianya yang rumit serasa semakin mengekang. Semua yang terjadi di dalam keluarganya, bagi Sara hanyalah potongan hal memalukan yang hina dan tak pantas untuk diketahui orang lain, apalagi sahabatnya.
Itu hanya akan membuat Sara malu kalau Riani sampai tahu jika ia sesungguhnya adalah anak dari keluarga yang hancur. Dengan ayah yang selama dua tahun lebih menghilang dan ibunya adalah pekerja seks komersil.
"Ri, lo nggak bisa ngertiin gue sedikit?"
Nada bicara Sara mendadak berubah kesal. Riani sontak terdiam, membaca ekspresi kawannya itu.
"Gue nggak bisa cerita apa-apa ke lo. Dan gue nggak mau. Please, nggak perlu bikin gue tambah pusing."
Sara bicara dengan penuh penekanan. Sekilas, sorot sepasang mata gadis itu tampak kesal dan itu membuat Riani takut.
"Gue nggak apa-apa," sambung Sara dingin.
Riani sekali lagi harus kembali terbentur oleh tingginya benteng hati yang dibangun oleh sahabatnya itu. Sungguh, ia sepenuhnya khawatir, tetapi Sara sedikit pun tak mau mengizinkannya untuk peduli. Setengah hati, Riani kini merasa kecewa. Dengan berat, Ia pun akhirnya memutuskan bungkam, mencoba memberi Sara ruang. Riani berharap kalau kekesalan yang terlihat di mata Sara hanyalah sebuah kekesalan sementara.
-:-:-
Jumpa dirinya, tak pernah terasa secanggung ini.
Wika benar-benar dibuat berdebar saat Sara sudah hadir kembali. Satu minggu lebih, sudah Wika lewati dengan banyak spekulasi pikiran yang tak pasti. Satu minggu lebih, ia harus berkubang dalam rindu dan kekhawatiran yang tak ada habisnya.
"Ada apa, Sar?"
Wika spontan bertanya tatkala dirinya sengaja berpapasan dengan Sara di koridor saat sela-sela rehat sesi ujian try out. Sebelumnya, di kelas tadi pagi, dia sudah menyapa gadis itu dengan sebuah 'hai' dan 'apa kabar'.
Riani yang mulai mencium bau-bau mencurigakan dari kedua orang itu, kemudian berinisitif undur diri. Dia tahu, privasi adalah satu-satunya hal yang dibutuhkan Sara pada saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jumpa Dirinya (FIN)
Teen FictionWikana Sastrodiredjo (Wika)--entah apa yang dipikirkan kedua orang tuanya, tatkala menamainya dengan nama salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang namanya hampir terlupakan itu. Wikana yang pernah jadi bagian sejarah kemerdekaan Indonesia mema...