3

138 22 4
                                    

Silau. Itu jelas mentari.

Pagi yang datang terlalu cepat, adalah hal yang selalu disyukuri Sara. Itu artinya, Sang Kuasa masih memberinya satu hari lagi kesempatan hidup. Saat tadi matanya terbuka, tubuh ibunya sudah ada di atas kasur. Entah kapan ia pulang. Tertidur pulas dengan gaun hitam selutut yang entah didapat darimana. Aroma sigaret kretek menguar jelas dari tubuhnya, membuat Sara seketika terganggu.

"Sara?" suara sengau ibunya terdengar memanggil setelah Sara selesai dengan semua tetek-bengek persiapan sekolah.

Laksmi—wanita yang sudah hampir masuk kepala empat itu—kemudian menghampiri putrinya yang sedang mengikat tali sepatu. Penampilan Laksmi masih terlihat kacau. Rambutnya berantakan dan sorot matanya sayu karena mengantuk. Langkah Laksmi tampak gontai dan malas.

"Nih, buat lo," katanya.

Jemarinya kemudian menyodorkan sesuatu—selembar uang kertas warna biru dengan gambar I Gusti Ngurah Rai.

"Nggak perlu, Bu. Buat Ibu saja."

Sara menolak dengan cepat sembari bangkit dari lututnya. Laksmi menatap datar putrinya. Ia tahu kalau ia takkan sanggup memaksa. Ia pun tak ingin menyulut pertengkaran di pagi hari.

"Bentar, jangan pergi dulu."

Laksmi menyerah, kemudian bergegas ke arah dapur. Ia keluar dengan bungkusan kecil di genggaman.

"Ini dimakan. Tadi subuh-subuh lewat depan warung Bu Eko. Dia kasih ini sedikit sebelum buka warung tadi."

Sara menatap plastik bening berisi dua buah donat kampung bersalut gula halus, yang bubuk putihnya sudah hampir tidak terlihat karena terserap minyak di permukaan donatnya. Bu Eko, adalah pemilik warung kecil dan pedagang gorengan di ujung gang. Ia memang terkenal baik hati dan suka memberi.

Sara akhirnya menerima bungkusan itu. Dia ingat kalau dirinya memang perlu ransum kalau tidak ingin sampai pingsan konyol di sekolah nanti. Dia pun ingat kalau jatah uang jajannya juga harus diirit-irit setidaknya sampai tiga hari kedepan sebelum mendapat upah kerja sambilan.

Laksmi kemudian berlalu begitu saja, melanjutkan kantuk dan lelapnya. Sebelum pergi, Sara menatap kembali selembar potret usang yang sekarang sudah dikembalikan lagi ke piguranya.

Sara berangkat dulu, ya, Mas.

-:-:-


Jumpa Dirinya (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang