13

86 16 8
                                    

Wika menunggu. Menit berganti, kolom daftar presensi peserta pun kian terisi. Sesekali, dia jadi menyesali dirinya yang tidak lebih dulu mengajak Sara berangkat bersama tadi pagi. Namun, Wika juga tidak punya pilihan. Ia memang harus berangkat lebih dini karena dirinya termasuk panitia acara.

Wika hanya berpikir sederhana kalau Sara mungkin butuh lebih banyak waktu untuk bersiap. Akan tetapi, sekarang justru Wika lah yang termakan gelisah. Gadis itu batang hidungnya belum juga kelihatan, padahal waktu toleransi bagi peserta sudah diberikan. Seingat Wika, Sara selalu tepat waktu kalau menghadiri acara-acara sekolah. Daftar anak-anak yang langganan datang terlambat ke sekolah pun, hampir tak pernah diisi oleh namanya. Aneh.

"Wika, si Sara gimana ini? Sydah jam segini kita harus cepat-cepat berangkat."

Sapto—yang merupakan korlap di acara hari itu—menegur Wika yang sedari tadi masih sibuk mondar-mandir tidak jelas di luar bus.

"Lo ada nomor kontaknya?" sambung Sapto.

"Sara nggak ada handphone dan rumahnya juga nggak pake telepon rumah," jelas Wika. Sialnya memang tidak ada jaringan komunikasi yang bisa digunakan oleh Wika untuk menghubungi Sara.

"Sepuluh menit lagi kita tunggu, deh. Kalau nggak datang juga, ya sudah terpaksa ditinggal," putus Sapto, yang kemudian disetujui oleh anggota lainnya.

Sar, ada apa? Kamu beneran nggak akan datang?

Wika hanya sanggup membatin. Ia jadi teringat kejadian hari kemarin tatkala ia bertanya perihal dua tahun lalu. Wika agak berspekulasi kalau Sara tidak ingin ikut karena malas dan kesal dengan Wika yang sudah terlalu ikut campur urusan pribadinya.

Sepuluh menit, jelas bukan waktu yang lama. Terlalu singkat bagi Wika untuk berharap kalau Sara akan datang. Dan memang benar saja, Sara betul-betul tidak datang.

Wika kecewa sekaligus merasa bersalah. Bus kemudian melaju, meninggalkan Jakarta menuju Kota Kembang. Bangku kosong di sebelah Wika semakin mematenkan sepinya. Seharusnya Sara yang duduk di sana, mengobrol atau berbagi tawa dengannya sepanjang perjalanan.

Wika kemudian mengeluarkan perangkat audio analog kesayangannya. Super Fresh 2—sebuah kaset album kompilasi musik rock favorit Wika—mulai diputar. Trek nomor 7, side B, Switchfoot dengan Dare You to Move, mengalun. Wika sempat berpikir, kalau saja Sara duduk di sampingnya, gadis itu pasti sudah ia tawari sebelah earphone-nya untuk mendengarkan lagu bersama.

Welcome to the planet

Welcome to existence

Everyone's here

Everyone's here

Everybody's watching you now

Everybody waits for you now

What happens next?

What happens next?

Sederet pemandangan hijau dan persawahan di ruas jalan Tol Cipularang nampak berlalu dengan cepat, perlahan berubah samar. Sejuknya Lembang kian terasa dekat. Namun, sejuk di hati Wika serasa kian menghilang. Rasa khawatir dan rasa bersalah di batin Wika sesungguhnya jauh melebihi rasa kecewanya. Ia hanya takut kalau ada sesuatu yang sedang terjadi dengan Sara hingga ia tiba-tiba membatalkan keikut-sertaannya. Sederet pertanyaan pun kadang terlintas di otak Wika.

Bosscha nanti malam, apa masih bakal terasa sama, Sar?

-:-:-

Sara kembali memandangi sekelilingnya. Rumah sederhana satu lantai itu memang bukan yang asing. Hanya saja Sara merasa kurang krasan jika  berlama-lama di sana.

Jumpa Dirinya (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang