Pagi itu jelas bukan pagi yang Sara harapkan, terlalu bising, terlalu pekat dengan amarah. Sara tak pernah sangka kalau hari itu akan datang. Selama dua tahun, harapannya akan pertemuan yang masih bisa terjalin dengan sosok itu sudah hampir pupus. Namun, nyatanya di hari itu Sang Kuasa telah berkata sebaliknya.
Pagi yang masih terhitung cukup dini, matahari bahkan belum menyingsing. Meski begitu, rumah kontrakan kecil itu sudah dipenuhi oleh suara-suara kencang dari dua orang yang berdebat.
"Apa-apaan kamu, Laksmi! Bisa-bisanya ngasih anak kamu makan dari hasil kerjaan kotor," ucap seorang pria yang terdengar begitu marah.
Tatapannya terlihat nyalang, menyorot ke arah Laksmi yang baru saja masuk rumah dengan gaun malam yang terlapis jaket di luarnya. Bau rokok dan alkohol menguar jadi satu dari tubuh Laksmi.
"Lu pikir nyari duit di Jakarta gampang apa? Masih bagus bisa makan, bisa punya kontrakan," Laksmi berdalih, tanpa terdengar malu dan ragu.
"Uang yang selama ini kukirim sudah kau habiskan untuk apa? Hah!" lelaki itu semakin meninggikan nadanya.
"Lu sendiri apa? Main sama gadis-gadis di kapal?" sanggah Laksmi begitu enteng.
"Kurang ajar! Jangan asal bicara!" Bantah Hendra keras, sungguh tidak terima. "Jawab, Laksmi! Kau apakan uang yang sudah kukirimkan itu?Judi? Hutang lagi? Buat minum-minum nggak jelas lagi?"
Laksmi tak menjawab. Toh, yang diucap Hendra—sang suami—memang benar adanya. Raut penuh amarah semakin tercetak jelas pada wajah kebapakan itu.
Hendra menggeleng samar tanda tidak percaya. Kedua lengannya berkacak di pinggang.
"Bisa-bisanya kamu, Laksmi. Aku capek-capek cari uang sampai hampir mati, kau di sini malah seenaknya. Anakmu pun kau telantarkan," lanjut Hendra, terdengar kian marah dan kecewa.
"Surat-suratku bahkan tidak ada yang sampai untuk Sara dan Arya. Maumu ini apa? Maksudmu apa, Laksmi? Gila, kau. Melacur saja kau bisanya! Main lelaki!"
Ketika emosi pria itu telah tiba di ujung tanduk, telapak tangannya hampir saja melayang ke pipi Laksmi.
"Bapak?" panggilan Sara, seketika membuat lengan besar itu membeku di udara.
Lelaki paruh baya itu sontak menghentikan niatnya berbuat kasar. Ditatapnya Sara dengan perasaan campur aduk. Ia kemudian buru-buru mendekat ke arah Sara.
"Sara," sapanya lirih, lalu spontan memeluk putri kesayangannya itu dengan begitu hangat. "Maafin Bapak, Nak. Bapak minta maaf. Bapak sudah terlalu lama ninggalin kamu."
"Bapak ...."
Sara sekali lagi memanggil. Namun kali ini, suaranya yang mulai terdengar gemetar dan lirih. Pada detik itu, Sara tak tahu harus berkata apa lagi. Semua emosinya tumpah ruah. Air mata telah bersemi di pelupuknya, kemudian jatuh bebas mengenai pipi.
"Bapak, pulang? Bapak ke mana aja, Pak?"
Sekali lagi, Sara masih terdengar tidak percaya. Dua tahun, ia hanya mendengar kabar simpang-siur tentang keberadaan bapaknya. Bahkan ia pernah begitu sangsi dan akhirnya menganggap kalau bapak sudah benar-benar tidak ada. Hendra pun saat itu belum bisa berkata-kata. Semua masih terlalu runyam untuk dijelaskan.
Sara sudah mendengar semuanya. Perdebatan singkat yang terjadi tadi sudah cukup menjelaskan. Setengah hati ia marah, setengah hati ia begitu sedih. Selama ini Sara tak pernah tahu kalau bapaknya tidak pernah benar-benar hilang. Laksmi pun tahu kalau selama ini Hendra sedang berjuang sendiri, tetapi Laksmi membiarkan begitu saja memutus kontak antara Hendra dan putri mereka. Entah alasannya apa.
"Sekarang juga kamu ikut Bapak, Sara. Jangan lagi kamu tinggal di sini," ucap Hendra sembari menyeka air mata yang menggenangi pipi anaknya.
"Tapi, Pak ...."
Semua terjadi begitu cepat, semua masih terasa begitu runyam di kepala Sara. Keputusan itu terasa begitu tiba-tiba. Ditambah lagi Sara pun tak lupa kalau ia harus berangkat ke Lembang dengan kawan-kawannya di pagi itu.
"Kemasi barangmu yang penting. Sekarang."
Jemari Hendra mengusap sayang kepala Sara. Permohonannya yang sangat sungguh-sungguh itu, tercetak jelas di rautnya.
Sara akhirnya mengangguk meski masih meragu. Ia pun berlalu dan pergi ke kamarnya. Seperti kata bapaknya, ia pun mulai mengemasi segala sesuatu yang penting. Itu bukan masalah besar. Namun, semua serpihan kegusaran yang ada di batinnya tak sempat ia bereskan. Berantakan, semua terasa terlalu berantakan dalam waktu yang begitu sempit.
"Lu mau bawa ke mana si Sara?" Laksmi bertanya ketus. "Lu nggak boleh bawa dia ke mana-mana!" bentak Laksmi yang kemudian mulai menahan lengan Sara dengan kasar tatkala putrinya itu terlihat akan meninggalkan kamar dengan segala barang bawaan.
"Cukup, Laksmi! Sara tidak bisa lagi tinggal di sini." Hendra segera menjauhkan Sara dari cengkraman Laksmi, mendekapnya lumayan keras. "Kau urus dirimu sendiri. Jangan lagi kau kotori anak gadismu dengan melihat kelakuanmu."
"Apa-apaan—"
Belum sempat Laksmi menyeselasikan ucapannya, Hendra sudah lebih dulu menyeret Sara. Membawanya keluar dari ambang pintu masuk rumah.
"Pak ...," sergah Sara terdengar ragu. Langkahnya sempat terhenti. Namun, Hendra tak mau mendengarnya. Motor Supra yang terparkir di depan kontrakan itu kemudian dinyalakan. Sara pun mau tak mau naik.
Begitu cepat, semua pun berlalu. Sampai saat terakhir, Sara masih bisa mendengar sumpah-serapah ibunya yang mengerikan. Jemari sang ibu bahkan masih sempat mencengkram lengannya sesaat sebelum motor mereka memelesat. Sisa jejak air mata masih sempat menggenang di pipi Sara bersama segala perih yang masih terlalu membekas di hati.
-:-:-
KAMU SEDANG MEMBACA
Jumpa Dirinya (FIN)
Teen FictionWikana Sastrodiredjo (Wika)--entah apa yang dipikirkan kedua orang tuanya, tatkala menamainya dengan nama salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang namanya hampir terlupakan itu. Wikana yang pernah jadi bagian sejarah kemerdekaan Indonesia mema...