4

158 23 19
                                    

Yang selalu Wika tahu, ada tidak adanya gadis itu di kelas, semua orang akan merasa takkan ada bedanya. Ya, hanya ada beberapa orang yang benar-benar mengenal Sara dan akan merasa kalau keabsenan gadis itu akan membawa perbedaan. Salah satunya adalah Riani, si cewek tomboy vokalis band sekolah berambut pixie cut, yang merupakan kawan sebangkunya.

Lima menit berlalu, semenjak jam istirahat kedua dimulai. Siang itu, Wika kembali mendapati sosok Sara dari luar jendela kelas. Ada dirinya lagi di sana. Bersama sunyi yang selalu ia pilih untuk ada di sisi.

Hingga detik itu, tiga adalah hitungan paling maksimal yang bisa disebutkan Wika untuk menggambarkan masa yang telah dilaluinya bersama gadis yang kini ada di dalam jarak pandang antara koridor dan kaca jendela kelas.

Tiga untuk tiga tahun predikat teman sekelas yang hanya sama-sama tahu, tetapi tidak sama-sama mengenal. Tiga tahun dan akhirnya untuk alasan yang tidak jelas, entah mengapa rasa ingin tahu Wika selalu hanya jatuh pada Sara.

Semua orang sudah berhamburan keluar dari kelas, hanya Sara seorang di sana. Dia yang tadinya masih terperenyak di kursinya kemudian melangkah ke arah meja guru di mana ada tumpukan LKS yang sudah selesai diperiksa, tetapi belum sempat dibagikan. Diambilnya, kemudian ia bagikan dengan cepat ke semua bangku. Wika bahkan tidak pernah tahu kalau ternyata Sara hafal setiap letak tempat duduk murid-murid.

Wika memberanikan diri masuk lagi ke sana setelah Sara terlihat selesai dengan tugasnya. Gadis itu kemudian sudah terperenyak lagi di bangkunya yang ada di baris paling belakang dekat jendela sisi kanan. Sementara, bangku Wika sejajar dengannya, tetapi ada di sebelah jendela sisi kiri.

Sara terlihat membenamkan wajah sejenak, lalu mengangkatnya lagi. Angin sejuk dari luar kelas bertiup membuat tirai di sebelahnya melambai-lambai, begitu juga dengan helaian rambut lurus sebahunya. Sinar mentari siang menerobos, membelai lembut sisi wajah Sara.

Wika kemudian duduk di bangkunya sembari melipat lengan di atas meja. Kepalanya lalu rebah. Entah apa yang ada di otak pemuda itu, Wika kemudian sengaja melihat ke arah Sara dengan posisi kepala yang masih bersandar di atas lengan. Sara yang akhirnya menyadari keberadaan Wika pun, menoleh.

Pandangan mereka bersirobok. Untuk sesaat, Wika tak ingin tersenyum. Namun, akhirnya terulas pula senyum itu di bibirnya—yang terasa samar, canggung, dan tanggung. Sara masih menatapnya, datar begitu saja, tanpa ada balasan senyum dari gadis itu. Detik rasanya bergulir begitu lambat dalam sunyi yang mengelilingi mereka.

Ke mana kamu yang waktu itu?

Wika hanya sanggup membatin dengan tatapan yang masih bertaut dengan Sara. Dia tahu, dirinya begitu bodoh karena menganggap Sara bisa berkomunikasi dengan telepati.

Apa yang sudah terjadi waktu itu? Sekali lagi Wika membatin.

Dua tahun lalu, di sore itu, adalah di mana Wika pernah melihat senyum Sara untuk terakhir kalinya. Senyum milik Sara yang terasa begitu bebas, tanpa kepiluan. Ya, diam-diam Wika memang punya perhatian kecil pada si gadis biasa-biasa itu. Dua tahun, belum juga ditemukannya senyum itu lagi. Rasanya sudah lenyap, senyap, tertelan emosi datar yang sering kali terbersit dari sorot mata Sara yang berkabut. Ya, itulah yang Wika lihat dari Sara, tapi entah apa yang orang lain lihat.

Ah, mungkin ini bukan hari keberuntungan kita.

Hanya itu yang digumamkan Wika dalam hati untuk sang pemilik senyum yang hilang. Wajah manis itu kini sudah tidak menatap Wika. Hanya langit terik di luar jendela yang kini memenuhi bola matanya.

"Woy, Wika!" suara seseorang dari depan pintu masuk kelas sontak membuyarkan sunyi di antara deretan bangku-bangku dan meja tanpa penghuni.

"Lo nggak taunya di sini. Buruan, dicariin dari tadi juga."

Sapto, si maniak kulit bundar menghampiri Wika. Sarung tangan keeper nampak masih terpasang di kedua tangannya.

"Iya, iya," sambut Wika sembari bangkit dari kursi. Dari sudut matanya dilirik lagi sekilas sosok Sara. Begitu cepat wajahnya sudah dibenamkan lagi di antara lipatan kedua lengan.

"Lo jadi gelandang, ya. Kita kurang orang, Men. Payah, nih, si Candra. Pake ngilang, sih."

"Beres, Men."

Wika hanya mengacungkan jempol tanda setuju. Tugasnya sebagai pemain cabutan memang harus dilaksanakan.

Mungkin lain kali, Sar.

Ya, lain kali.

Lain kali-lain kali yang lain yang selalu hanya bisa mewakilkan obrolannya yang tidak pernah kesampaian dengan Sara. Sudahlah, tak perlu didebatkan. Wika memang hanya jago bermonolog dalam batin, apalagi monolog untuk Sara. Pandangannya kemudian terputus, bersamaan dengan daun pintu kelas yang ditutup dari luar.

-:-:-

Jumpa Dirinya (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang