17

74 18 5
                                    

"Apa?"Nada tanya Riani terdengar menukik.

Kala itu jam istirahat kedua sedang berlangsung. Mereka berdua kini sudah kembali akrab seperti semula. Riani sekali lagi mencoba memastikan kalau yang didengarnya tidak salah. Sara kemudian terlihat menghimpun kembali napasnya.

"Iya gue nolak Azzam," ulang Sara yang kini terdengar pelan.

Riani spontan menepuk dahi. "Sinting lo, Sar." Ia menggeleng beberapa kali. "Elo nolak Azzam buat jadi pasangan prom night? Azzam si flower boy ketua green school yang teladan, ganteng, lembut, dan baiknya bukan main itu?" cerocos Riani, yang serasa sepanjang kereta api.

Flower boy, begitulah julukan yang melekat pada Azzam, siswa yang dikenal selalu kerja di toko bunga milik keluarganya selepas pulang sekolah. Tak hanya dikenal ganteng dan kalem, serta termasuk dalam jajaran cowok-cowok most wanted di sekolah, Azzam juga merupakan ketua ekskul green school di SMA mereka—semacam ekskul pecinta lingkungan hijau sekolah.

Satu bulan selepas pengumuman Prom Night tersebar ke seantero sekolah, Azzam akhirnya memberanikan diri untuk mengajak Sara ke prom night. Diam-diam Azzam memanglah pengagum rahasia Sara si jago karate. Perangai Sara—yang terlihat cuek, tetapi manis—telah menyihir Azzam.

Kala itu, seperti biasa ketika istirahat pertama, Sara akan pergi ke screen house sekolah untuk memeriksa dan menyirami tanaman bunga sedap malam yang akan jadi penilaian ujian praktikum akhir mata pelajaran Biologi di sekolah mereka. Di sanalah ia hampir selalu bertemu Azzam yang juga sibuk dengan anggrek-anggrek sekolah yang harus dia urus bersama kawan-kawannya di green school. Setiap kali mereka bertemu di sana Azzam akan selalu memberanikan diri membuka obrolan lebih dulu dengan Sara. Sara pun akan menanggapinya dengan santai, tanpa ada rasa apa-apa. Sampai pada satu titik temu yang lain, Azzam pun mengutarakan niatnya.

"Sara, lo mau ke prom night sama gue?"

Diantara warna-warninya bunga-bunga dan hijaunya daun-daun tanaman hias di dalam screen house, ajakan Azzam akhirnya terucap. Masih diingat Sara, bagaimana mata itu menatap dengan begitu tenang dan teduh, terlihat sangat bisa mengendalikan diri. Ya, perangai Azzam memang bisa digolongkan sebagai siswa yang terlihat lebih dewasa ketimbang anak-anak seusianya.

Sara kala itu hanya menatap bingung. Ia tak tahu harus apa dan ia hanya berpikir sederhana kalau Azzam sudah salah orang. Sara bahkan tak sedikit pun berniat untuk datang ke prom. Penolakan secara halus kemudian terjadi begitu saja.

"Ya ampun, Sara. Lo, kok, bisa-bisanya nolak Azzam, sih? Gila lo." Riani masih terlihat tidak percaya.

"Ya abisnya ...." Ucapan Sara terdengar menggantung.

"Abisnya kenapa, Sar? Azzam tuh kurang apa, sih?" protes Riani lagi.

"Gue sendiri juga nggak tahu bakal datang atau enggak ke prom."

Riani menatap kecewa. "Sar, emang lo nggak mau datang? Kenapa? Itu bakal jadi momen terakhir kita sebelum pisah dari SMA, Sar."

"Nggak tau, Ri. Gue masih mikir-mikir." Sara berkilah halus. "Kita lihat nanti aja."

Beberapa siswa-siswi terlihat sudah mulai kembali ke kelas, jam istirahat kedua sudah akan usai. Kelas mulai ramai lagi. Riani bersandar lemas pada bangku dan mulai mengeluarkan disc player-nya. Ia cukup merasa sedih mendengar pernyataan Sara yang ragu untuk ikut acara prom night. Sara kemudian memutus pandangannya dari Riani, sama-sama merasa canggung.

Pandangan Sara kemudian mengedar ke sudut kelas hingga akhirnya terhenti pada sosok Wika yang ada di bangku paling belakang yang sejajar dengan bangkunya. Sepasang bola mata Wika tampak tak lepas dari buku tebal di genggamannya.

Musashi, novel karya Eiji Yoshikawa yang bercerita tentang samurai zaman Edo itu telah mengalihkan dunia Wika. Ini pertama kalinya bagi Sara, melihat Wika yang tampak begitu berbeda. Kali ini bukan lapangan, peluh, atau terik mentari di siang hari, yang membuat Wika tampak seperti biasanya.

Wika yang kini dilihatnya adalah Wika yang lebih sering terlihat tenggelam dalam dunia sunyinya, bersama buku-buku dan aksara. Separuh dunia Wika yang rahasia dan tenang itu, justru kini semakin sering tampak ke permukaan. Wika lebih sering menampakkannya di depan umum, lengkap dengan perisai kebisuan yang tebal—yang membuat Sara selalu berpikir kalau keberadaan Wika sesungguhnya begitu jauh. Yang membuat Sara kembali mengingat kesalahan yang mungkin telah melukai hati Wika.

Sesal, mungkin adalah kata yang tepat untuk melukiskan perasaan Sara. Ia sekarang memikirkan bagaimana waktu itu ia telah menampik segala rasa peduli Wika. Namun, setelahnya Sara akan kembali lagi berpikir, kalau ia bahkan tak pantas meminta maaf. Semua terasa sudah begitu jauh.

Perhatian Sara secara tak sadar kini lebih sering tersita pada Wika. Ia akhirnya tahu bagaimana Wika ternyata juga sama tidak antusiasnya dengan dirinya soal prom. Ia ingat bagaimana tiga hari lalu juga telah terjadi berita heboh. Poppy, salah satu siswi populer di sekolah juga mendapat penolakan ajakan prom night. Dan yang menolak Poppy tak lain dan tak bukan adalah Wika. Poppy yang notabennya adalah siswi yang dikenal cantik, rendah hati, pintar, dan anak orang berada, ditolak begitu saja ajakannya oleh Wika. Entah karena alasan apa.

Sekali lagi, di sore yang lain, punggung Wika didapatinya terus menjauh. Bayangan Wika memanjang di atas aspal lapangan bola sekolah. Langkah pemuda itu panjang-panjang melewati kawan-kawan yang biasa mengajaknya bermain, Wika hari itu masih tak berniat bergabung. Sara kemudian hanya menatapnya dalam bisu sembari sedikit berharap kalau Wika setidaknya akan menoleh sekilas.

Wika, apa saya masih bisa mengulang yang sudah lalu? batin Sara.

-:-:-


Jumpa Dirinya (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang