14

75 16 0
                                    

Hari berganti. Sudah hampir satu minggu, nama Sara masih saja absen dari daftar presensi kelas. Wika pun tak pernah berhenti bertanya-tanya akan sosoknya. Ada apa? Di mana?

Sekarang, ia baru merasa takjub. Bagaimana bisa hanya ia dan Riani yang merasa kalau kelas jadi terasa berbeda tanpa kehadiran Sara?

Setiap pagi, Wika akan berangkat lebih awal, kemudian sengaja menunggu bus dengan durasi yang lebih lama dari biasanya. Berkali-kali, ia membiarkan bus tujuannya lewat begitu saja sambil berharap kalau Sara akan muncul di jalan besar itu. Namun, nyatanya nihil. Wika pun setiap hari akan menyambangi minimarket. Namun sayang, kehadiran Sara, selalu tak bisa didapatinya.

"Cari siapa, dek?" sapa ibu-ibu tetangga yang mendapati Wika di Jumat sore itu sudah ada di depan rumah Sara.

Kali ini, Wika nekat berkunjung. Berkali-kali ia mengetuk pintu, tak ada juga penghuni yang keluar dari rumah kontrakan kecil itu.

"Saya cari teman saya, Bu. Namanya Sara."

"Oh, Sara. Sudah seminggu saya juga tidak lihat Sara pulang ke sini lagi," jelas sang ibu tetangga yang rumahnya tepat di samping rumah Sara. "Bu Laksmi, ibunya, dua hari lalu sudah kemas-kemas, dan juga sudah pindah. Jadi kontrakan ini sudah kosong sekarang," tambahnya.

Wika kemudian hanya mengucap terima kasih sebelum ibu tetangga itu berlalu. Ia tercenung. Jangankan berkomunikasi jarak jauh, meraba jejak Sara pun, Wika tak mampu.

Hasrat ingin bersua itu kini benar-benar telah membuat gejolak baru di batinnya. Lagi-lagi, hanya deret aksara yang akan menjadi pelariannya, bukan lapangan sekolah ataupun terik guyuran sinaran surya. Deretan buku di perpustakaan sekolahnya dan ruang baca ibunya kini telah menjadi peta peralihan bagi perasaan kekanakkan yang ia sebut 'rindu'.

-:-:-

Setelah pindah ke tempat kontrakan yang baru, Sara mulai mencoba menata kembali semuanya dari awal. Menata hati, menata pikiran yang semrawut. Berhari-hari, ia memutuskan untuk tidak dulu menginjakkan kaki di sekolah. Semua masih terasa memusingkan untuknya. Pelajaran di sekolah hanya akan membuatnya semakin gila dan takkan sedikit pun membantu kontemplasi dirinya.

Setiap kali ayahnya membujuk, Sara hanya akan berkata "tidak". Setiap hari, percakapan antara ia dan ayahnya tidak akan jauh-jauh dari konsep "tidak komunikatif". Sesekali, pikiran tentang nasib ibunya yang telah ia tinggalkan, tak henti mengusik Sara. Biar bagaimanpun, terlepas dari  segala sikap dan kelakuan Laksmi yang Sara terima selama ini, Laksmi tetaplah ibu kandung yang pernah melahirkan Sara dan Arya.

Meski semua pergumulan perasaan akan nasib ibunya terus berlangsung di batin, Sara sekali pun tak ingin menyinggungnya di depan sang bapak. Ia tahu, semua itu hanya akan membuat Hendra murka dan kesal.

Tak hanya Sara yang berusaha membenahi segala perkara rumit dalam hidupnya. Hendra pun berusaha keras untuk menebus segala sesuatunya. Ia kini telah mendapat pekerjaan yang lebih layak dari kenalannya. Hendra setidaknya sekarang tak perlu berada terlalu jauh dari putrinya dan ia bisa bekerja sebagai salah satu pegawai toko matrial besar di bilangan Pejaten.

Sara kini tak lagi diperbolehkan oleh bapaknya untuk berkerja sambilan dan membantu keuangan keluarga. Hendra sepenuhnya ingin putrinya itu cukup berkonsentrasi dengan kegiatan belajar dan sekolah. Kedukaan akan kepergian Arya, putra sulungnya, sudah cukup membuat Hendra merasa begitu bersalah karena tidak pernah bisa menjadi ayah yang bertanggung jawab bagi kebahagiaan anak-anaknya.

-:-:-



Jumpa Dirinya (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang