6

108 19 2
                                    

"Sara, buruan bikin kopi!" 

Itu seruan Laksmi. Malam itu, ia terlihat sudah bersiap kembali dengan setelan kerjanya yang hanya berupa kaos dan celana jeans—setelan yang akan berubah lagi ketika pulang dini hari nanti setelah "mencari mangsa".

Sara hanya menyahut sebisanya sembari masih sibuk memoles piring dengan spons dan sabun di dapur belakang. Makan malam sederhana—yang lauknya ia beli di warung Tegal depan gang—baru saja ia tandaskan.

Sepuluh menit, seduhan kopi tubruk pesanan Laksmi itu kemudian rampung. Disodorkannya gelas yang menguarkan uap panas dari cairan hitam itu di depan ibunya. Wangi harum kopi pabrikan terhidu.

"Bu, ini ...."

Setelahnya, Sara mengangsurkan benda lain yang tadi juga dibawa dalam saku celananya—selembar kertas HVS yang sudah dilipat dua kali.

Laksmi menjembanya dari tangan Sara, kemudian mulai membaca isinya. Bola matanya bergerak cepat ke kanan-kiri.

"Nggak bisa datang," ucap Laksmi singkat setelah membaca dengan kilat. Ditaruhnya kembali surat edaran sekolah itu di atas meja.

Raut Sara seketika berubah kesal. Sebisa mungkin ia masih mencoba mengendalikan diri, sebisa mungkin ia tak ingin meledak dulu.

"Sudah dua kali ibu selalu nggak bisa datang ke pertemuan orang tua. Sekarang gak bisa lagi? Aku malu, Bu. Tiap kali aku harus selalu ditegur guru gara-gara masalah kayak ini. Bisa nggak, sih, sekali ini Ibu datang?" ucap Sara memohon.

Laksmi tak menanggapi, dengan cuek ia kemudian menyulut rokoknya. Asap mengumpul dan membubung di udara tatkala ia mengembuskannya dari buah bibir. Sara menatap ibunya dalam kebisuan. Pahit mengumpul di tenggorokan, menyekat kata-kata yang ingin diucapnya. Ia menarik napas sesaat sembari melipat lengan di depan dada.

"Ibu nggak mau waktu tidur Ibu terganggu? Iya?" tanya Sara retoris. Laksmi tak menjawab ocehan putrinya, hanya terus sibuk mengisap sigaret dengan nikmat.

"Makanya kalau nyari kerjaan jangan yang enggak-enggak," Sara kembali berujar dengan ketus.

Laksmi masih terdiam, tetapi kali ini pandangannya tak lepas dari sepasang mata anaknya. Datar, tanpa tahu emosi apa yang ada dibaliknya. 

"Bapak lo yang nyari kerjaan yang enggak-enggak. Nggak jelas ada di mana. Mati apa enggak, gua juga udah nggak peduli," sambar Laksmi, yang seketika membuat batin Sara seperti disambar petir.

Sara tidak berani membalas. Setelah sekian lama berusaha untuk hampir lupa, luka dan Ironi di batin Sara serasa kembali tercungkil dengan mudahnya. Ucapan Ibunya barusan memang bukan sesuatu yang sepenuhnya salah. Dan harus Sara akui, itu adalah salah satu "momok keluarga" yang sampai saat ini telah coba Sara pendam.

Bertahun-tahun lamanya, Bapak memang telah meninggalkan keluarga mereka tanpa kejelasan. Dulu, ketika berpamitan, Bapak bilang akan kerja di kapal. Tapi, Sara tak pernah tahu tepatnya sebagai apa. Namun, yang paling Sara percaya saat itu adalah, ia yakin Bapak akan pulang dengan lebih banyak uang dan kesejahteraan. Yang ia tahu, Bapak akan berjuang.

Namun, setelah sekian lama, semua itu hanya tinggal sebatas impian. Keberadaan Bapak hingga kini tidak jelas ada di mana. Sekian lama, Bapak tidak pernah lagi pulang dari pelayaran. Surat-suratnya pun tidak lagi datang. Sara dan keluarganya hanya ditinggalkan dengan banyak pertanyaan dan keadaan ekonomi yang kian menyusahkan. Bahkan, banyak berita simpang siur  yang Sara dengan tentang sang kepala keluarga.

Yang paling buruk, banyak kerabat dan orang sekitar yang bilang jika Bapak sudah tiada, atau Bapak sudah kawin lari dengan istri barunya. Tentu, Sara sakit hati, tidak hanya dengan spekulasi orang-orang, tetapi juga dengan Bapak yang setelah sekian lama tidak menepati janji-janjinya. Meninggalkan keluarga mereka dalam kesusahan ekonomi yang kian mencekik. Namun pada akhirnya, Sara memilih untuk meluruhkan sebagian hatinya lagi. Sosok Bapak yang dulu ia kenal begitu penyayang, tidak lantas membuat Sara dengan mudah menghapus segala yang pernah ia percayai dari sosok itu. Masih ada satu harapan kecil di hati Sara jika Bapak masih akan kembali ke rumah mereka.

"Ibu nggak usah ngalihin pembicaraan," kesal Sara, kembali mencoba kembali ke topik utama. Ibunya tak kunjung memberi jawaban kesanggupan untuk menghadiri pertemuan.

"Ibu harus datang," tuntut Sara tidak mau tahu. "Ibu itu masih waliku. Aku bukannya nggak punya orangtua."

Laksmi masih saja terdiam. Ia kemudian tampak bangkit dari duduk, berjalan ke arah buffet kecil di dekat pintu. Sebuah foto usang yang ada di dalam pigura kemudian dikeluarkan.

"Ibu, jangan!" sentak Sara ketika Laksmi tanpa basa-basi terlihat mengacungkan lighter di tangannya, hendak membakar foto itu

Sara buru-buru berlari ke arahnya, menyambar selembar foto yang sudah hampir terjilat api. Langkah Sara menjauh, jemarinya menggenggam foto itu erat-erat. Laksmi tertawa pelan, terdengar menyeramkan di telinga Sara. Ia hanya menertawakan kebodohan putrinya—yang begitu mudah digertak—hanya dengan ancaman membakar selembar foto usang yang hanya tinggal satu-satunya itu.

"Seenggaknya gue nggak harus mati mengenaskan kayak Kakak lu yang tolol itu," ucap Laksmi pelan, dengan nada mengejek.

Sara mengatur amarah yang kini terus merangkak pelan di batin. "Seenggaknya Mas Arya masih peduli untuk nggak ngasih makan adiknya dari uang yang kotor. Seenggaknya Mas Arya masih sadar untuk nggak terjebak di lingkaran setan kayak Ibu."

Usai semua itu terucap dari bibirnya, Sara melengos begitu saja—mengunci diri di kamar sempit itu. Laksmi membisu di tempat, tak begitu peduli dengan ocehan anaknya. Rokok itu masih diisap lagi dengan nikmat. Ia lalu kembali terperenyak di sofa kecil nan usang itu, mulai menyeruput kopi hitamnya.

Anak sialan, cibirnya dalam hati.

-:-:-


Jumpa Dirinya (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang