Sejak pertemuan mereka tempo hari di minimarket, Wika akhirnya sekarang tahu bagaimana cara termudah untuk menjumpai Sara di luar jam sekolah. Wika dengan lucunya jadi sering sekali pergi ke minimarket itu hanya untuk menemui Sara. Dia bahkan sampai hafal jadwal shift Sara.
Sementara itu, Sara pun kini tahu sisi lain dari Wika yang sebelumnya tak pernah ia tunjukkan. Perpustakaan nyatanya adalah tempat di mana kesendirian Wika terpeta. Di balik hiruk-pikuknya sorak-sorai dan jerit para siswa yang menyemangati setiap pertandingan yang diikutinya, Wika nyatanya punya dunia lain di balik lembar-lembar aksara. Tak jarang Sara kerap kali secara tak sengaja melihat Wika nongkrong di perpus, membaca karya sastra klasik atau novel.
Di balik segala pertemuan mereka—baik yang terencana maupun tidak—Sara sesungguhnya sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadiran Wika yang kini secara mendadak jadi begitu meningkat intensitasnya. Sara juga tidak cukup dungu untuk memahami kalau Wika memang sedang berusaha keras untuk bisa sekadar dekat dan ngobrol dengannya.
Sara kadang tak mampu menahan senyumnya tatkala Wika sudah muncul kembali di depan meja kasir dengan beberapa bungkus camilan atau barang-barang yang sekiranya tidak mungkin ia butuhkan, tetapi masih ngotot dibelinya. Cengiran kikuk dan sapaan lucunya itu, tak jarang membuat mood Sara yang tadinya buruk jadi baik kembali.
Wika sesekali akan datang agak larut ke minimarket, seperti sengaja untuk menunggu jam kerja Sara habis. Setelahnya, Wika pastinya akan menawarkan diri untuk pulang bersama. Dan Sara akan mengiyakannya meski selalu terdengar ragu.
"Loh, jadi kamu tinggal di Gang Lindung?" tanya Wika tatkala keduanya sudah meninggalkan minimarket menyusuri jalan besar dan hendak pulang bersama.
"Iya. Kamu tahu Gang Lindung?"
"Iya, tahu. Itu, kan, pas di dibelakang komplek tempat saya tinggal," jelas Wika.
'Saya-kamu', kata ganti itu terdengar sangat jarang untuk dipakai dalam interaksi sehari-hari oleh anak ibu kota macam mereka. Wika pun tak paham, mengapa ia mulai lebih dulu menggunakan kata ganti 'saya-kamu' setiap kali bicara dengan gadis itu. Ya, hanya dengan Sara Wika akan seperti itu. Wika hanya merasa nyaman menggunakan 'saya-kamu' dan Sara juga tidak pernah keberatan menanggapinya dengan seragam.
"Wah, ternyata rumah kita deketan." Sara menukas semringah.
"Eh, tapi kok kita nggak pernah ketemu, ya, Sar?"
Raut Wika tampak penuh tanya.
"Kamu, sih, sibuk jadi pemain cabutan mulu," canda Sara. Tawa renyah Wika kemudian menguar.
Betapa ketinggalan zamannya Wika pada saat dirinya baru tahu kalau selama ini rumah mereka ternyata berdekatan. Dan betapa semringahnya Wika mengetahui hal itu. Artinya, ada lebih banyak lagi kesempatan untuk bisa menemui Sara dalam jarak yang tidak jauh. Wika spontan berpikir, mungkin sesekali mereka bisa coba belajar bersama untuk persiapan UAN nanti. Toh, rumah mereka dekat.
Kenapa baru sekarang?
Hanya pertanyaan itu yang pada akhirnya terlintas di benak Sara ketika mengingat betapa lucunya selama tiga tahun mereka sekelas, tak pernah sekali pun terbayang kalau mereka akan sedekat ini ketika menjelang akhir masa sekolah.
Di sekolah, Wika kini tak jarang menyapa Sara setiap kali mereka papasan di kantin atau koridor. Wika bahkan pernah sengaja menunggu bus lebih pagi di jalan besar itu, hanya demi bisa berangkat ke sekolah bersama dengan Sara. Kedekatan mereka di sekolah memang tidak begitu kentara. Namun, di luar itu, mereka bak dua sejoli yang tidak pernah diperkirakan oleh orang-orang.
"Sar, lo sama Wika kayaknya akhir-akhir ini jadi akrab, ya?"
Ternyata ada pengecualian untuk makhluk yang satu ini. Dari semua penghuni sekolah, memang hanya Riani yang paling sadar akan kedekatan Sara dan Wika. Sara tidak begitu ingin menanggapi pertanyaan interogasi Riani yang satu itu. Ia sibuk mencatat materi penting di papan tulis yang sedang di jelaskan Pak Agus—guru fisika mereka.
"Woy, Sar? Lo sama Wika ada apaan sebenarnya? Tiba-tiba, kok, jadi rada sering sapa-sapaan dan ngobrol. Dia nggak mau macam-macam, kan, sama lo?" bisik Riani, masih terus merepet sahabatnya itu.
"Nggak ada apa-apa," jawab Sara singkat, jemarinya masih sibuk menggores pena di atas buku tulis.
"Jangan bohong. Wika jangan-jangan naksir sama lo, ya? Lagi pedekate sama lo?"
Lengan Riani menyikut sahabatnya itu. Jemari Sara seketika membeku berkat tembakan Riani. Pandangannya beralih ke kawan sebangkunya itu.
"Riani, Sayang ...." Sara terdengar menghela napas. "Gue sama Wika cuma teman biasa dan nggak ada yang bakal macam-macam di antara kita. Oke? Udah?" Sara menatap serius.
Riani pun akhirnya mengurungkan niat untuk kembali mendesak Sara. Ekspresi wajah kawannya itu sudah cukup terlihat meyakinkan.
-:-:-
KAMU SEDANG MEMBACA
Jumpa Dirinya (FIN)
Teen FictionWikana Sastrodiredjo (Wika)--entah apa yang dipikirkan kedua orang tuanya, tatkala menamainya dengan nama salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang namanya hampir terlupakan itu. Wikana yang pernah jadi bagian sejarah kemerdekaan Indonesia mema...