16

77 17 2
                                    

Setelah kejadian di minggu try out, Wika dan Sara kemudian sama-sama mengulur jarak. Kedekatan mereka yang pernah dibangun dalam beberapa minggu, mendadak harus menjauh lagi. Wika tak pernah bisa berhenti menyesali bagaimana dirinya bisa begitu ceroboh karena berpikir bisa membuat perasaan gadis itu lebih baik dengan memaksa bercerita. Wika bahkan merasa begitu bodoh karena telah menyinggung urusan konflik kecil antara Sara dan Riani yang tak sengaja diketahuinya.

Sementara itu, Sara tak mampu berhenti memikirkan bagaimana dirinya begitu bersikeras membentengi hati hingga berakhir dengan sikap yang begitu dingin pada Wika dan Riani. Padahal Sara sendiri sesungguhnya tahu, Wika hanya bermaksud baik.

Setiap kali mereka papasan, tak ada lagi jejak sapa yang terucap. Tak ada lagi obrolan ringan di sela-sela kelas. Dunia mereka kini kembali berjarak seperti sedia kala. Sama seperti ketika Sara selalu menganggap bahwa Wika adalah si supel yang punya dunia sendiri. Sama seperti ketika Wika selalu berpikir bahwa Sara hanya akan selalu memilih sepi untuk berada di sisinya.

"Saya tahu rasanya sakit, Sar. Tapi saya nggak pernah biarain diri sendiri merasa asing. Kamu pun juga seharusnya nggak perlu merasa terasing. Kesepian bukan jalan untuk sembuh, Sar."

Ucapan Wika pada waktu itu sesungguhnya tak pernah berhenti menggelitik batin Sara. Wika seperti menyiratkan padanya, bahwa kesepian dan kesendirian kadang akan sangat tidak cocok jika disandingkan dengan rasa sakit. Wika terdengar seperti menegaskan, bahwa terkadang manusia juga butuh tempat untuk berbagi dan bercerita.

Tak hanya dengan Wika Sara mengulur jarak. Ia dan Riani kini juga merasa tersekat oleh jarak yang cukup besar. Beberapa hari belakangan ini, adalah hari-hari yang menyiksa bagi keduanya, di mana mereka hanya berbagi ocehan seperlunya, tak ada obrolan remeh ataupun tawa. Semua terasa kaku. Sara masih bersikeras membentengi diri, sementara Riani berpikir kalau Sara masih butuh ruang. Ia benar-benar tak berani mengambil langkah lebih dulu. Dengan sabar Riani hanya akan menunggu

-:-:-

Bel pintu rumah Riani berdering di sabtu sore itu.

"Sara?" sapa Riani dengan tatapan membola ketika dilihatnya Sara sudah ada di depan pintu.

"Sori, nggak ngabarin dulu," ucap Sara kemudian. Cewek itu mencoba tersenyum, tetapi terlihat canggung dan terpaksa.

Selama tiga tahun persahabatan mereka, baru kali itu Riani benar-benar mendapati sebuah momen yang terasa meremat batin.

"Sar ...."

Riani mendadak membawa tubuh Sara dalam dekapnya. Sungguh ia rindu sahabatnya itu. Ada hal yang kemudian disesali Sara. Padahal dia sudah bersikap begitu dingin, tetapi sahabatnya itu masih saja bersikap begitu hangat. Rasa bersalah menumpuk di batin Sara. Ia pun sesungguhnya rindu, tetapi tak sanggup bicara.

"Lo jangan kayak gitu lagi, Sar," suara Riani terdengar gemetar. Air mata sesungguhnya hampir tumpah.

"Maafin gue, Ri. Maafin gue," ucap Sara begitu haru. Keduanya kemudian mengurai peluk. "Ri, gue butuh cerita," sambung Sara, yang kemudian disusul raut lega dari Riani.

-:-:-

Riani pada akhirnya dibuat tak percaya oleh sahabatnya sendiri. Itu adalah kali pertama Riani mendengarkan segala kisah kelam yang selama ini dipendam rapat-rapat oleh kawan sebangkunya itu. Tentang hubungan ia dengan ibunya dan tentang pekerjaan sang ibu; ayahnya yang selama ini menghilang dan dipikirnya sudah mati; dan juga kematian kakak kandungnya yang ternyata juga tidak pernah diketahui Riani. Semua itu sudah tersampaikan oleh Sara.

Ketika air mata berjatuhan dari pelupuk Sara, seketika Riani merasa begitu gagal sebagai seorang sahabat. Ia menyesal karena tak pernah bisa membuat Sara terbuka padanya. Saat sudah sampai puncaknya, barulah semua itu tumpah ruah.

"Makasih banyak udah cerita, Sar. Maaf kalau gue nggak bisa berbuat banyak," ucap Riani sembari mendekap Sara. Ia pun tak kuasa menahan air mata.

Tanpa disadari, Sara pada akhirnya menerima segala ucapan Wika dengan melakukan hal-hal yang pernah terpesan. Dan setelah semua ia tumpahkan, Sara akhirnya sampai pada satu titik pengakuan, bahwa manusia kadang memang butuh tempat untuk bersandar dan bercerita sejenak dengan orang yang paling dipercaya.

-:-:-


Jumpa Dirinya (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang