17. Changed

305 23 8
                                    

"kita akan bersama kan?"

"Tentu saja. Aku akan selalu bersamamu"

"Tapi kenapa? Kenapa kau memilihku? Kau adalah satu-satunya pria hebat yang mau bersama wanita seperti ku"

"Maka dari itu... Jika kau sudah menyadari bahwasanya aku ini adalah lelaki yang hebat. Kau seharusnya merasa bersyukur telah mendapatkan diriku"

Air mata Gio jatuh saat membayangkan kenangannya bersama Alana. Semua seolah terulang kembali di memorinya dan menari-nari didepan matanya.

Pertemuan mereka yang tidak begitu lama ternyata mampu membuatnya yakin untuk memilih Alana sebagai tempat terakhirnya. Ia tidak mencintai Alana, tapi entah mengapa rasa nyaman yang diberikan wanita itu tidak bisa membuatnya pergi.

"Tentu saja aku merasa bersyukur. Selama ini, hanya kau saja yang memahami ku. Menemaniku meskipun semua orang berniat menjauh dariku. Tapi tidak dengan mu"

Senyum Gio datang bersama jatuhnya air matanya. Ia tertawa sedih, bahkan sampai menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Sejak mengetahui bahwa rencananya berhasil. Ia kembali mengurung dirinya di ruang kerjanya. Ia tidak memperdulikan sedikitpun panggilan dari ibunya dan juga Rafaela. Ia berniat menghabiskan kebahagiaannya sendiri didalam ruangan yang gelap itu.

Namun alih-alih merasa bahagia. Gio justru merasakan hal sebaliknya. Bukankah seharusnya ia merayakan hari ini? Hari dimana ia bisa membayangkan kesedihan Alana dengan wajah yang sudah pasti ditumpahi dengan deru air mata? Bukankah ini tujuannya?

"Sial! Sial! SIAL KAU ALANA!" teriaknya frustasi. Gio memukul kuat wajahnya dan meyakinkan dirinya bahwa ia tidak boleh lemah.

Ia tidak boleh terhanyut oleh rasa kasihan kepada Alana. Wanita itu pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Siapa suruh ia tidak menurut padanya?

"Andai saja kau menurutiku, Alana. Kau pasti tidak akan mengalami hal seperti ini. Dan kita akan hidup bahagia bersama Widya. Putri kita" Bukan tanpa alasan Gio melakukan ini semua. Mengesampingkan rasa bencinya terhadap Devon, sesungguhnya ia mulai tidak bisa menerima keadaannya. Ia mencintai Alana.

Ya! Ia sangat mencintai wanita itu. Meskipun Gio selalu menyangkalnya, namun kali ini tidak. Ia menyadari bahwa ia sangat mencintai Alana. Berpisah dari wanita itu ia kira tidak akan berdampak apapun untuk dirinya.

Namun semua salah. Ia telah memperlakukan Rafaela sama seperti ia memperlakukan Alana dulu. Ia menyayanginya, memanjakannya, menemaninya bahkan selalu mengucapkan kata manis di hadapan Rafaela. Namun itu semua hanyalah bentuk dari ketidakmampuannya menghadapi dirinya sendiri. Yang ia mau hanyalah Alana.

Dan ia kira menyakiti Alana adalah jalan yang bagus untuk membuat wanita itu merasa menyesal, sekaligus membalaskan rasa kesalnya pada Devon. Tidak berdampak apa-apa. Ia tidak merasa bahagia sedikitpun saat ini.

"Setelah ini semua berakhir, aku akan mendapatkanmu lagi" ucapnya sebelum melenggang pergi ke kamarnya. Kamar miliknya dan Rafaela, serta putri mereka Widya.

Melenyapkan Rafaela mungkin salah satu jalan yang paling bagus saat ini. Dengan begitu, ia bisa kembali bersama Alana, bukan?

--

"Devon berdiri di kamarnya. Menatap kebawah dari jendela kamarnya. Keramaian di kota itu seolah menari-nari menggelitik dirinya. Ia ingin segera turun, membawa pasukan belatinya dan segera menancapkannya di tubuh mangsanya.

Ia ingin sekali merobek-robek isi kepala Gio saat ini. Memisahkan seluruh organ-organ tubuhnya dan melemparkannya kepada anjing-anjingnya. Namun niatnya urung saat melihat tubuh istrinya yang sudah terlelap diatas kasur.

MY PSYCHO MY LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang