Semua terasa sangat menyenangkan. Terasa sangat hangat. Tangan besar yang melingkar erat di lekukan tubuh, mampu membuat setiap wanita tersenyum bahagia saat membuka matanya menyambut sinar mentari pagi.
Alana menyunggingkan senyumnya dan mengusap lembut tangan kekar yang kini sedang memeluknya dengan erat. Ini aroma yang selalu menjadi alasannya untuk membuka mata.
Ia membalikkan tubuhnya dan ikut memeluk sang pria yang sangat dicintainya itu. Menenggelamkan kepalanya di dada pria tersebut. Sehingga membuat pria itu terbangun dan memandangnya dengan lembut.
"Hhhmm. Sangat cantik" Alana tersenyum mendengar sapaan pagi dari Gio.
Ia menatap lekat mata lelakinya itu dan mulai mengusap wajahnya dengan lembut. Sedikit kasar, Alana tau bahwa sebagian rambut mulai tumbuh menggerayangi wajah tampan kekasihnya.
"Kau harus bercukur" ucapnya yang di sambut tawa oleh Gio.
"Apa sudah mengganggu? Sepertinya belum" Gio merapatkan wajahnya dan menyatukan bibirnya dengan bibir Alana. Ia mulai mengulum lembut bibir wanita kecil itu. Dengan sengaja, ia menggesekkan wajahnya ke wajah Alana, mencoba menjahilinya. Gio tau bahwa Alana merasa sangat terganggu dengan bulu-bulu halus yang ada di wajahnya
"Hhhmmmm. Sudah sangat mengganggu! Kau harus bercukur Gio" Alana bangkit dan mulai melangkah meninggalkan kamarnya. Ia harus bergegas membuat sarapan, karena sebentar lagi Gio harus bekerja.
Gio memang tidak pernah memaksanya untuk melakukan hal-hal yang dapat merepotkan Alana. Gio juga sudah sering mengatakan bahwa ia bisa sarapan dikantor. Tapi Alana tidak mau mendengarkannya. Baginya, mengurus Gio adalah kewajibannya. Sama seperti perihal membuatkan sarapan untuknya.
Yah, sambil belajar menjadi calon istri yang baik. Bagi Alana itu tidak masalah. Toh dirinya juga mahir dalam hal memasak.
"Sayang! Dasi aku mana?" Teriak Gio dari dalam kamar. Alana menolehkan kepalanya sembari memikir sejenak. Dimana ia meletakkan dasi Gio? Pergulatan mereka kemarin malam membuat Alana melupakan semua barang-barang yang telah ia lepaskan dari tubuh Gio. Dan kini, ia harus memikirkannya dengan keras. Dimana letaknya dasi sialan itu?
"Ambil yang baru aja yang!" Teriaknya pusing memikirkan dimana dasi menyebalkan itu berada.
--
Setelah menyelesaikan sarapan pagi. Gio beranjak dari kursinya dan diikuti Alana. Ia tersenyum dan mengecup dahi Alana dengan lembut.
"Aku berangkat dulu ya. Baik-baik dirumah" ucapnya sembari mengecup bibir Alana singkat.
Alana mengangguk dan ikut tersenyum. Sesaat, sebelum Gio melangkahkan kakinya keluar. Alana kembali menarik lengannya dan menatapnya lekat. Membuat Gio menyerngitkan dahinya bingung.
"Aku tau bahwa ucapan ku ini akan membuatmu kesal. Aku tau kau pasti tidak suka karena kita sudah terlalu sering membahasnya. Namun aku harus mengatakannya sekedar mengingatkan mu bahwa aku tidak ingin terus menjalani hubungan seperti ini dengan mu. Aku ingin kau-"
"Alana" belum sempat Alana menyelesaikan ucapannya. Gio sudah memotongnya. Karena ia akan tau kemana ujung pembicaraan mereka berdua.
Alana menunduk takut saat melihat ekspresi wajah Gio yang sudah mengeras. Ia dengan cepat mengambil tangan Gio dan menciumnya, berharap lelaki itu luluh.
"Kita sudah sering membahasnya. Kau sudah pasti tau jawaban ku tetap sama. Kenapa sulit sekali membuat mu mengerti hm?" Gio mengelus lembut kepala Alana yang sedang menunduk. Ia tau gadisnya menangis saat ini. Ia menarik tubuh Alana masuk kedalam pelukannya.
"Sudahlah. Yang terpenting sekarang kita bersama. Bukankah itu sudah cukup?" Alana hendak membantah. Namun ia urungkan dan tetap memejamkan matanya.
"Jika saatnya sudah tiba. Aku akan pastikan, bahwa semua harapan mu dan aku akan menjadi kenyataan. Hanya saja, sekarang kita harus lebih banyak bersabar lagi sayang" ucapnya yang di jawab anggukan dan senyuman oleh Alana
Begitulah seharusnya. Alana tidak boleh egois. Ia harus lebih bersabar lagi. Yang di katakan Gio memang benar. Saat ini yang terpenting adalah dirinya dan Gio telah bersama. Dan Alana sudah cukup puas akan itu meskipun, hal yang ia dan Gio inginkan belum terpenuhi. Tapi Alana yakin, suatu saat keinginan baik itu pasti akan terwujud.
--
Alana tersenyum sambil menatap takjub sebuah lukisan yang dibuat oleh, Leonardo da vinci. Karya sang master yang sudah menjadi favoritnya sejak belia.
Setelah lama memandangi lukisan tersebut. Alana kembali melangkahkan kakinya untuk melihat lukisan yang lainnya. Awalnya ia ingin menunggu Gio pulang untuk datang bersama dengannya ke pameran lukisan ini. Namun ternyata, Gio sudah lebih dulu mengatakan bahwa ia akan terlambat pulang. Alana hanya mendesah pasrah dan akhirnya memilih untuk pergi sendirian.
Sudah entah berapa banyak lukisan yang ia foto. Namun rasanya tetap saja kurang. Alana selalu saja merasa tangannya gatal setiap melewati lukisan-lukisan itu. Bahkan ia juga tidak malu untuk mencium bingkai lukisan itu dan memeluknya dengan erat. Sampai-sampai ia harus mendapat teguran dari para petugas pameran ini.
Oh Alana. Kau memalukan! Hanya itu yang terbesit di benaknya saat mendapat teguran. Namun kembali lagi, ulahnya akan tetap sama saat ia kembali berjalan dan menemukan lukisan-lukisan baru yang membuatnya terkagum-kagum setengah mati.
Kecintaannya akan seni lukis sudah sangat melekat dalam dirinya. Alana sendiri juga tidak tau mengapa. Ia tidak bisa melukis. Jangankan melukis. Menggambar ayam saja ia tidak bisa. Tapi kecintaannya pada lukisan sangat kuat. Ia suka, bahkan cinta dengan lukisan.
Menurutnya, setiap memandangi sebuah lukisan. Ia akan melihat dirinya didalam lukisan tersebut. Dan hal itu mengalir dan membuatnya mengerti arti akan lukisan yang sedang ia pandang.
Bahkan Alana pernah menangis tersedu-sedu saat melihat lukisan seorang wanita yang sedang menangis. Sampai-sampai Gio harus datang menjemputnya dan membawanya pulang karena orang-orang disana mengira bahwa Alana telah tersesat dan kehilangan orang tuanya saat berada di tengah keramaian.
Tubuhnya yang kecil selalu mampu membuat orang lain salah menerka umurnya. Orang-orang akan mengira ia adalah gadis kecil yang baru saja menduduki bangku SMA. Dan hal itu yang membuatnya kesal saat berjalan sendirian.
Alana terus berjalan sambil menyesap minumannya dengan santai. Pandangannya tertuju pada lukisan-lukisan yang berada di dinding-dinding pameran tersebut. Sampai akhirnya ia tidak menyadari langkahnya dan menubruk seseorang dengan sangat keras.
BRUK!
Alana dengan cepat memutar tubuhnya yang kini sudah berada di dada bidang seseorang. Ia meneguk salivanya saat melihat minuman yang ia pegang kini sudah berada di baju seseorang yang ia tabrak.
Dengan takut, ia menengadahkan kepalanya dan melihat wajah yang sudah jelas adalah seorang pria. Pria yang entah mengapa Alana sendiri takut melihatnya bahkan hanya beberapa detik saja.
Alana terkesiap dan langsung menundukkan kepala dan tubuhnya.
"Maaf... Maaf tuan. Saya tidak sengaja. Maafkan saya"
Alana mendengar desahan nafas berat yang keluar dari mulut pria itu. Sehingga dengan tak sadar, pria itu menarik kuat lengannya dan menatap mata Alana dengan lekat.
"Apa kau buta?"
--
See you :*
KAMU SEDANG MEMBACA
MY PSYCHO MY LOVE
Romance21+ "You're mine. Tidak ada seorangpun yang boleh memilikimu selain aku. Tidak ada seorangpun yang boleh merebut mu dariku. Dan tidak ada seorangpun yang boleh membuatmu menangis, bahkan diriku sendiripun tak berhak! Aku akan melenyapkan siapa sa...