14. I have you

209 21 1
                                    

Bintang menjadi saksi, dimalam itu aku menjerit kan namamu dalam kebahagiaan ku.

--

"Bertukar nomor telepon apanya? Kalau mau niat minta nomor gue, seharusnya ya di tunggu terus nomornya ya di catet. Ini malah pergi. Dasar aneh" Sarah mendengus kesal kearah pintu yang baru saja dibuka oleh Steve sembari melenggang pergi.

Entah apa yang ada didalam fikiran lelaki itu. Setelah meminta nomor Sarah, ia malah langsung pergi sebelum sempat wanita itu menjawab 'iya atau tidak' ia hanya pergi begitu saja.

Tidak jauh dari kata apapun sebenarnya. Steve hanya merasa ia telah melakukan hal yang salah. Ia tidak boleh seperti itu seharusnya. Sarah bukanlah wanita yang ia inginkan. Hatinya hanya merasa kesepian sampai harus menganggap kehadiran Sarah menjadi penghangat baginya.

Kesepiannya yang sudah lama bersarang dihatinya membuatnya lupa akan bagaimana sebenarnya perasaan hangat itu. Ia masih membandingkan. Yah... Steve hanya perlu sedikit bersenang-senang sepertinya.

"Shit! Ngapain juga aku meminta nomor Sarah?" Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam sebenarnya Steve merasa sangat hampa. Selain Devon yang selalu menjadi tempatnya mengadu, tidak ada orang lain lagi yang mengerti akan dirinya.

Steve adalah seorang pria yang kuat dalam menunjukkan ekspresinya. Orang lain tidak akan pernah tau bagaimana sebenarnya perasaannya kecuali Devon. Yah... Devon memang ajaib. Ia bisa dengan mudah membaca setiap gerak-gerik Steve. Membaca ekspresi wajahnya yang terkadang terlalu dibuat-buat bahagia. Itulah salah satu alasan Steve merasa sangat beruntung memiliki sahabat yang menyayanginya seperti Devon.

Devon yang keras, Devon yang brutal, Devon yang tidak memiliki belas kasih jika sudah melakukan aksinya dan Devon yang tidak perduli dengan sekitar. Semua itu bahkan tidak berguna sedikit pun untuk Steve. Baginya Devon adalah sandarannya, tempatnya berteduh dan saudara yang paling setia. Melebihi saudara kandungnya sendiri.

"Apa yang kau lakukan disini?" Steve menoleh saat mendengar suara Devon. Ia melihat lelaki yang sudah menjadi sahabatnya itu sambil tersenyum. Namun senyumannya lagi-lagi terlihat dipaksakan.

"Aku hanya sedang keluar mencari angin. Ada beberapa urusan yang harus ku kerjakan. O ia, aku sudah menyelesaikan semua permasalahan perusahaan mu. Besok aku akan kembali ke London"

Steve sedikit mengangguk saat melihat Alana. Lalu setelahnya ia mulai berjalan meninggalkan mereka.

"Steve!" Langkah Steve berhenti saat mendengar Devon kembali memanggilnya. Ia hanya menoleh sedikit melihat Devon.

"Kau perlu bicara denganku. Pulanglah lebih dulu, nanti aku akan mengabarimu lagi" Steve mengangguk dan kembali pergi meninggalkan mereka berdua.

Alana yang kurang peka dengan situasi ini hanya bisa melihat kearah Devon. Devon tersenyum dan mengelus kepala kekasihnya itu.

"Tidak ada apa-apa. Ayo kita masuk, teman-teman mu pasti sudah menunggu kita" Alana hanya mengangguk dan mulai berjalan beriringan dengan Devon.

Seluruh pasang mata disana menatap mereka tersenyum sembari menundukkan sedikit tubuhnya. Terlihat sekali bahwa mereka sangat dihormati disini. Bukan mereka, tepatnya mereka menghormati Devon.

--

"Itu bukan pilihan yang bagus sepertinya"

"Memang bukan. Tapi aku menyukainya. Akan sangat menyenangkan jika melihat mereka berdua terkapar tak berdaya sampai ajal menjemputnya"

MY PSYCHO MY LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang