Terkadang, semesta memang terasa lucu dalam mempertemukan kita pada takdir.
--
Malam itu, hanya ada suara angin yang terdengar. Seluruh penjuru ruangan dipanti asuhan itu terasa sangat sepi. Kopi hangat yang menjadi teman malam Alana saat ini juga tidak terasa hangat.
Entah kemana perginya kehangatan itu. Sejak malam dimana dirinya terakhir kali bertemu dengan Devon. Tepat lima hari yang lalu, saat lelaki itu mengantarnya pulang. Tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulut Devon. Ia langsung pergi setelah memastikan Alana masuk kedalam panti.
Sebenarnya Alana sedikit marah kepada Devon yang seenaknya saja menyuruhnya untuk menciumnya diacara pernikahan Gio. Namun kata-katanya kembali ia telan saat tak mendengar suara Devon sama sekali sewaktu mengantarkannya. Ia hanya diam. Pandangannya lurus kedepan. Bahkan ia tidak menoleh kearah Alana sedikit pun.
Jujur, Alana merasa sedikit kehilangan. Entah mengapa ia merasa kehadiran Devon saat itu seolah memberinya kehangatan. Lelaki itu jelas melindunginya.
"Aku terlalu naif ternyata" Alana menghembuskan nafasnya pelan. Sebenarnya apa yang ia harapkan? Apa yang ia harapkan adalah kehadiran Devon?
"Argghh!" Alana meletakkan gelasnya dan merebahkan tubuhnya. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan sendu.
"Stop memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal Alana! Ia hanya merasa kasihan kepada mu! Tidak mungkin lelaki seperti dirinya tertarik kepadamu. Tidak mungkin!" Ya, itu jelas masuk akal. Devon tidak mungkin menyukai Alana. Sungguh tidak mungkin.
Namun Alana? Alana jelas merasa bahwa kehadiran Devon di kehidupannya membuatnya merasa senang. Ia bahkan sudah tidak mengingat Gio lagi. Cintanya kepada Gio seakan sirna karena ucapan kejam lelaki itu, dan juga karena hadirnya Devon dalam kehidupannya tentunya.
Alana menutup kedua matanya. Berusaha untuk tidur dan melupakan kehaluannya. Satu yang harus ia fikirkan saat ini adalah mencari pekerjaan. Ya! Hanya mencari pekerjaan.
--
"Kenapa kau selalu berusaha untuk mengalahkan ku Steve? Kau jelas tau bahwa hal itu hanya akan berujung sia-sia" Davon memberikan sebuah map kepada Steve. Dan Steve menerimanya dengan tersenyum.
"Thanks Dev. Karena aku tau aku sudah kalah makanya aku menyuruhmu datang ke London untuk membantuku. Ternyata aku salah menunjukmu sebagai rival. Kau sangat cerdas dan licik" Steve membuka map pemberian Devon dan membacanya dengan tidak percaya. Ternyata Devon mengembalikan jumlah kerugian yang ditanggung oleh perusahaan Steve dengan berkali-kali lebih banyak dari pengeluaran mereka.
Steve dan Devon sudah berteman sejak mereka kuliah di Harvard. Kala itu, Devon lulus lebih dulu dan pulang ke Indonesia demi meneruskan perusahaan kakeknya. Namun siapa sangka jika mereka dipertemukan lagi sebagai seorang pengusaha.
"Aku tidak menyangka ternyata kau juga memiliki banyak aset di sini. Dan DWK? Aku sangat takjub kau bisa membangun perusahaan asuransi sebesar ini di London. Ku kira kau hanya menjalankan bisnis dari keluargamu saja" Steve menyeruput teh miliknya sembari berbasa-basi. Tentu saja ia tau perusahaan Devon. Selama ini Steve yang selalu menjaganya jika Devon sedang di Indonesia.
"DWK memang sudah mengambang jauh keatas langit. Makanya kau ingin bersaing dengan ku. Saham mu masih rendah sob" Devon tersenyum menyindir Steve. Yang membuat mata Steve memandangnya dengan malas.
"Lupakan soal itu. Bagaimana? Apa kau sudah memiliki kekasih?" Devon yang mendengar pertanyaan Steve seketika terdiam.
"Kenapa? Apa kau masih belum sembuh?" Steve jelas mengetahui siapa Devon. Ia sudah menemani Devon sejak mereka mulai berkuliah dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY PSYCHO MY LOVE
Romance21+ "You're mine. Tidak ada seorangpun yang boleh memilikimu selain aku. Tidak ada seorangpun yang boleh merebut mu dariku. Dan tidak ada seorangpun yang boleh membuatmu menangis, bahkan diriku sendiripun tak berhak! Aku akan melenyapkan siapa sa...