"Jika perasaan perempuan dipersentasekan dimulai nol sampai seratus dalam suatu hubungan. Maka lain halnya dengan lelaki, dari seratus bisa merosot ke nol."
SEDARI tadi, pipi gembul Ruby tak henti-hentinya bersemu mendapat perlakuan manis dari Varden. Ruby tidak tahu apa yang membuat Varden menjadi seperti itu, tetapi Ruby merasa bersyukur, setidaknya lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
Tangan kekar Varden menggenggam jari-jari mungil milik Ruby ketika bel pulang sekolah sudah berbunyi. Dilan dan Caesar yang berdiri di belakang menatap Varden dan Ruby kesal.
"Masuk," kata Varden saat mereka sudah sampai di parkiran. Biasanya saat pulang sekolah, Ruby pasti naik angkutan kota. Namun, kali ini berbeda, Ruby pulang bersama Varden.
"Ruby naik angkutan kot—" Ucapan Ruby terpotong saat Varden mendorongnya memasuki mobil.
"Walau pacar settingan, gue berhak nganter lo pulang," jelas Varden saat sudah masuk ke dalam mobil. Tanpa sadar, pipi Ruby merona.
"Pulang ke apartemen Varden aja, sekarang, kan, jadwal Ruby kerja." Ruby memasang sabuk pengamannya. Lalu menoleh ke belakang sembari melambaikan tangannya ke arah Dilan dan Caesar.
"Hm." Varden menjalankan mobilnya meninggalkan sekolah. Selama perjalanan, tidak ada yang membuka obrolan, hanya suara alunan musik yang terdengar.
"Varden ngapain ke minimarket? Mau beli sesuatu?" tanya Ruby saat mobil Varden berhenti di salah satu minimarket yang terletak di pinggir jalan raya besar.
"Mau beli cemilan, lo diem aja di sini." Varden membuka pintu mobil dan keluar dari sana.
Ruby mengembuskan napas pasrah, netranya menatap punggung Varden yang kian menjauh. Setia menunggui sang majikan.
Di lain sisi, Varden sibuk memilih cemilan apa yang akan ia makan nanti. Pasalnya, cemilan favorite Varden tengah kehabisan stok. Varden itu orang yang sangat menjaga kesehatannya. Ia tidak suka makanan yang terlalu manis dan juga makanan dengan bumbu yang berlebihan. Mungkin itu salah satu penyebab kenapa Varden memiliki tubuh yang bagus.
Tidak mau berlama-lama berada di antara sekumpulan orang-orang yang berlalu lalang, Varden mengambil asal dua bungkus roti untuknya dan Ruby. Setelah itu, Varden memutuskan untuk membayar belanjaannya.
"Eh, Mbak, saya kan udah bilang, nanti belanjaannya saya bayar setelah ngambil dompet saya yang ketinggalan."
"Maaf, Mbak, tapi belanjaannya bisa dititip di sini dulu."
"Saya pasti bayar, Mbak, tenang aja."
Varden menoleh saat mendengar keributan yang berasal dari tempat pembayaran. Laki-laki itu berdecak malas, berjalan mendekat ke arah seorang gadis yang sibuk adu mulut dengan penjaga kasir di minimarket.
Jika gadis itu adalah Ruby, Varden pasti sudah menyeretnya paksa, memarahi, dan menindasnya habis-habisan. Telinga Varden panas mendengar keributan.
"Saya yang bayar belanjaannya," putus Varden, agar perdebatan antara kasir dan gadis labil itu terhenti.
Sang kasir mendengkus, dengan perasaan dongkol setengah mati, ia menerima tiga lembar uang seratusan yang Varden sodorkan.
Sang gadis yang bingung akhirnya menoleh ke belakang, pipinya merona. Bagaimana tidak? Saat ia menoleh, laki-laki tampan tiba-tiba saja berdiri di belakangnya—dan membayar semua belanjaannya.
Setelah mengambil kembalian dan juga membayar belanjaannya, Varden berbalik keluar dari minimarket. Ingat, Varden melakukan ini karena ia tidak ingin berlama-lama berada di antara kerumunan orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes ✓
Teen Fiction°Budayakan vote dan follow° Writer by @HaifaKamila & @mdyunitaa #JewelHighSchoolSeries1 (15+) *** Takdir merenggut segalanya sejak Ruby menginjak usia 15 tahun. Sewaktu menemukan profesi yang cocok, tidak terima saat toko tempat Ruby bekerja memecat...