"Aku membangun rumah dengan tulang rusukku, dan dada bidangnya adalah dinding tempat seluruh lukisan dan potret bahagia."
Waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore, Ruby, Caesar, dan Dilan tengah berjalan beriringan. Mereka bertiga berpencar bersama setelah menyelesaikan tugas dari Pak Agate—guru kimia di Jewel High School, biasanya di jam segini memang sengaja dikosongkan sekitar setengah jam agar para muridnya bisa bersantai sebelum bel pulang berbunyi.
Caesar menguap, bola matanya yang jernih jadi berair—mungkin faktor mengantuk saat uraian pelajaran kimia dijelaskan tadi, sedangkan Dilan tengah asyik bertelepon dengan adik kesayangannya yang sedang sakit di rumah, Nara.
Omong-omong, Ruby sempat menduga bahwa Nara adalah pacar cowok itu, sebab panggilan khusus yang Dilan berikan kepada adiknya terdengar intens.
"Elo-lo pada tau tentang alter ego nggak, sih?" Dilan berbisik kepadanya dan Caesar, usai menjauhkan ponsel yang dibisukan.
"Tumben lo nanya, Dil," sahut Caesar yang membuang kotoran berukuran kecil berwarna dominan cokelat dan putih ke sembarang arah. Dilan bergidik jijik.
"Dil Dul Dol, au ah gelap. Ini lho adek gue nanya buat bahan presentasinya lusa nanti." Dilan melambaikan tangan dengan dongkol, sepertinya tertekan sekali pada tema topik yang diminta Nara. Wajar saja, Ruby juga merasa itu topik yang cukup berat untuk dimengerti remaja-remaja sebayanya.
Beruntung, gadis mungil itu lumayan mengerti karena Lilian dulu sering membekalinya dengan beberapa ilmu tentang hal semacam ini. "Setau Ruby alter ego itu gambaran orang yang punya dua kepribadian atau lebih, tapi belum tentu bisa dimasukin sebagai kelainan psikologis."
Ruby melanjutkan penjelasannya kalau alter ego itu tidak sama dengan kepribadian ganda yang tergolong kelainan identitas disosiatif, lalu merambat secara mendetail. Dilan manggut-manggut mulai mengerti, ternyata kesimpulan tentang alter ego yang mirip seperti kepribadian ganda terbukti salah.
Dilan menganggap kalau Ruby merupakan teman terbaik yang tak ada duanya.
"Alter ego itu nggak sampe bi—" Ucapan Ruby terpotong ketika seseorang menyenggol lengannya, hampir terjatuh jika saja Caesar tak sigap menangkapnya.
"Lo kalo jalan ke depan lihat-lihat, dong!" seru Caesar tak suka. Yang ditegur membalikkan badan, seseorang yang menjadi tersangka menatap ketiganya dengan pandangan menusuk.
Ruby mengerjap kecil. Bukankah dia kakak kelasnya di sini—sekolah favoritnya yang disingkat JHS? Gadis bernama Indira Marthisa yang pernah ikut tes beasiswa bersamanya dua minggu yang lalu saat dirinya melakukan tes untuk kedua kali?
Gadis yang mendapatkan skor nilai tertinggi dan mengalahkannya di babak penyisihan, meski Ruby ajek memperoleh beasiswa. Penampilan Indira yang terlihat sederhana dan karakternya yang pendiam membuat Ruby ingin mengajaknya berteman, tetapi selalu terhalang jarak.
"Kak Indira? Sama Kak Ona?" Ruby mengalihkan atensi, menatap gadis yang berdiri di samping Indira tiba-tiba seingatnya bernama Iona. Indira terlihat tak senang saat Ona bersikap hiporbola dalam mendekatinya.
Ruby pun heran, mengapa Indira terlihat menjaga jarak dengan Ona yang merupakan anak berkedudukan terpandang dan luas pula relasi pertemanannya? Padahal kalau dia menjadi Indira, pasti akan langsung menerima Ona dengan hati lapang.
Sepertinya memang ada sesuatu.
"By, mending kita cabut aja." Dilan mengambil salah satu pergelangan tangan milik Ruby yang masih bengong.
"Tapi kenapa, Lan?" Dilan tak menjawab pertanyaan Ruby dan memaksanya untuk pergi. Hingga ketiganya yang kebetulan melihat Varden di cafe bersama Fantasius, lantas kepergok sedang menguping pembicaraan antara ayah-anak yang nampak serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes ✓
Teen Fiction°Budayakan vote dan follow° Writer by @HaifaKamila & @mdyunitaa #JewelHighSchoolSeries1 (15+) *** Takdir merenggut segalanya sejak Ruby menginjak usia 15 tahun. Sewaktu menemukan profesi yang cocok, tidak terima saat toko tempat Ruby bekerja memecat...