'BAB 22'

58 31 20
                                    

"Pernah berjuang untuk sebuah senyuman, hingga akhirnya tinggal kenangan. Pernah menjadi bayangan, lalu hilang terbawa angan."


Dua hari berlalu sejak insiden di mana Varden memutuskan hubungannya dengan Ruby. Tidak seperti gadis itu, Varden justru nampak biasa-biasa saja. Seakan tidak ada penyesalan yang hinggap di hati. Akan tetapi, sejak hari itu juga, Varden lebih sering menunjukkan ekspresi datarnya. Tidak ada ekspresi marah, senang, dan juga sedih di wajah tampannya.

Varden segera memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah dan beranjak menuju kelas. Dia mengernyit saat mendapati Dilan duduk di sampingnya, bukannya itu bangku milik Ruby?

"Ngapain?" Dilan mengangkat bahunya lalu menunjuk Ruby yang duduk dengan Caesar di bangku paling belakang.

"Nggak tau, Ruby nyuruh gue pindah. Katanya dia lagi marah sama seseorang," jawab Dilan seraya menyugar rambut tebalnya.

"Aura Ruby hari ini beda banget, Den, nggak kayak Ruby yang biasanya."

Varden menatap Ruby lekat, sedangkan yang ditatap cuek bebek seraya memalingkan wajah ke samping. Caesar sendiri hanya dapat menatap kedua remaja itu dengan tanda tanya besar di kepalanya.

Varden menghela napas kasar, lebih baik kalau Ruby tidak duduk bersampingan dengannya. Namun, mengapa Varden merasa tidak rela, ya?

Bunyi bel yang berdering keras menyadarkan Varden dari aksi tatap menatap dengan Ruby. Cowok itu segera duduk di bangku, menunggu kedatangan guru yang akan mengisi kelas hari ini.

•••

Jam istirahat tak biasanya Ruby berpisah dari Caesar dan Dilan. Biasanya gadis itu akan ikut pergi ke kantin, walau hanya sekadar mengobrol dan melempar canda. Caesar menyikut perut Dilan, memberi instruksi agar cowok itu ikut menatap Varden yang tengah melamun.

"Den, lo cari Ruby, gih, takut-takut nanti dia dipalak kakak kelas," ujar Caesar dijawab anggukan semangat oleh Dilan.

"Bukan urusan gue." Yang dikatakan Varden benar, kan? Mereka sudah putus, itu berarti Ruby bukan lagi tanggung jawab Varden. Lagi pula, entah kenapa pikiran Varden sedang sangat kusut.

"Lo, kan, pacarnya goblok! Eh, canda goblok." Dilan menyengir takut saat mendapati tatapan tajam dari Varden. Cowok itu menggebrak meja kantin dan berlalu dari hadapan dua lelaki yang menjabat sebagai sahabatnya.

"Itu anak kenapa, sih, Sar? Dari tadi mukanya gitu mulu, gregetan gue pingin nabok, persis cewek yang lagi PMS." Caesar terbahak mendengar perkataan Dilan. Ya memang, hari ini Varden terlihat berbeda, sama seperti Ruby. Mungkin ada masalah di antara kedua remaja itu yang tidak Caesar ketahui.

Sementara di sisi lain, Varden berjalan menuju belakang sekolah—sengaja untuk menenangkan diri di sana. Merenungkan masa lalu yang memberi kenangan buruk untuknya. Nama Ruby tanpa sengaja terlintas di pikiran Varden. Kenapa di saat Varden dalam mode bad mood, wajah Ruby yang tersenyum tulus malah muncul di kepalanya? Hal itu membuat Varden menggeram frustrasi.

"Varden, gue datang!" Tiba-tiba Ramona yang entah muncul dari mana menghampiri Varden, dan duduk di samping laki-laki itu. Awalnya Varden hanya diam saat mendengar gadis itu mengoceh panjang kali lebar. Namun, saat mendengar Ramona menjelek-jelekkan Ruby, netra Varden langsung menajam.

"Gue denger, lo udah putus sama si 'cewek munafik', ya? Bagus, deh, soalnya gue pernah liat Ruby ciuman sama cowok lain, Den," ucap Ramona dengan netra yang berbinar, menunggu jawaban Varden.

"Pasti dia selingkuh di belakang lo."

"Jalang jangan ngadi-ngadi!" tukas Varden kesal. Membayangkan Ruby berciuman dengan laki-laki lain? Mustahil itu terjadi, tetapi bagaimana kalau yang dikatakan Ramona itu benar adanya? Varden tak akan pernah terima.

Emerald Eyes ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang