"Cinta memanglah indah ketika bersemi. Tapi bagaimana dengan 'jatuh'? Apakah selalu terasa menyakitkan?"
"Ah, Ruby kenapa, sih?!"
Ruby Jewelicca meringik, menenggelamkan wajahnya ke dalam bantalnya di kost. Jantungnya masih berdetak tidak keruan sehingga dia gelisah di ranjang.
Mana suhu ruangannya berubah panas, Ruby tak bisa mengabaikan ciri-ciri yang terjadi padanya setelah browsing di internet. Habis tegur-sapa dengan para tetangga, gadis itu secepat mungkin mengecek gejalanya lewat ponsel yang ditinggalkan di White Bird's.
"Kata Mutia, Ruby kena virus bahaya!" pekik Ruby berkaca-kaca, kemudian kembali menyembunyikan diri di balik selimut.
Mutia adalah satu dari sekian tetangga yang mau dekat dengan gadis berambut bergelombang itu. Dia terlibat arus obrolan yang lumayan panjang, Mutia banyak bercerita tentang berbagai hal, terutama tambatan hatinya tercinta.
Saat Ruby mencoba menjelaskan keganjalan yang akhir-akhir ini dialami, Mutia yang paling heboh merespon ceritanya. Katanya ini, katanya itu ... sepertinya yang ditangkap oleh gadis itu adalah bagian virus merah jambu berbahaya yang kadang membuat pemuda-pemudi tak dapat fokus belajar dan menuntut ilmu. Yang berhubungan erat dengan hati dan jantung.
"B-berarti Ruby terjangkit? Ruby nggak bisa sekolah besok? Ruby takut galau!" Dia menangis sesenggukan, menatap lamat-lamat layar ponselnya yang menampilkan sederet tulisan yang tidak terlalu Ruby mengerti.
Akan tetapi, yang tertulis di sana adalah jangan mendekati si pelaku yang menjangkitinya, jika tidak dia akan mengalami patah hati. Huhu, Ruby tak mau kehilangan hatinya! Dia belum siap meninggalkan dunia ini!
"Huaaaaa, Ruby nggak mau!"
Sedetik berikutnya, Ruby berbisik tidak jelas—intinya benar-benar belum mau merasakan sakitnya meninggalkan orang-orang yang berjasa di hidupnya.
Gadis itu belum membalas kebaikan mereka dan berterima kasih sebesar-besarnya atas belas kasih yang selesa samudra. Netra coklat madu yang sedikit memerah karena lama menangis menerawang ke arah jendela. Bagaimana kalau dia tidak bisa lagi bertemu teman-teman tampannya yang menyejukkan mata?
Bagaimana Ramona yang merupakan teman cewek pertamanya?
"Apa Ruby bikin surat wasiat aja, ya? Biar mereka bisa ngenang Ruby walau Ruby udah nggak ada?" Gadis itu mengangguk-angguk, sepertinya akan bagus. Dia beranjak duduk seraya mengelap ingusnya yang meler menggunakan sisa tisu di nakas meja.
"Ruby? Lo ngapain bikin surat wasiat?" Ruby yang ingin meraih pena kontan terlonjak kaget. Dia tak menyadari kehadiran Kenanga yang menyimak di ambang pintu kamarnya yang terbuka.
"Kak Ken?" Ruby menyembunyikan secarik kertas buram di belakang punggung, tersenyum canggung tatkala gadis yang lebih tua dua tahun di atasnya memicingkan mata penuh selidik.
"Ruby ... Ruby, gue ngeliat semuanya dari awal, lho." Kenanga menaik-turunkan alisnya, bersiap membongkar rahasia adik kecilnya yang terekam di otaknya.
"J-jangan ngomong, Kak. Ruby malu karena ketahuan nangis." Ruby menyengir bak maling yang tertangkap basah.
"Ih, nggak apa-apa, kok. Coba cerita sama gue, kenapa lo mau bikin surat wasiat? Ada-ada aja." Kenanga menahan tawanya dengan kepala yang menggeleng kecil.
"Ruby mau cerita, tapi Ruby malu. Ruby gak mau mati!" Gadis dengan rambut yang dicepol asal itu berteriak frustrasi. Kenanga yang melihatnya saja sampai bingung. Namun tingkah Ruby yang seperti ini benar-benar menghibur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes ✓
Teen Fiction°Budayakan vote dan follow° Writer by @HaifaKamila & @mdyunitaa #JewelHighSchoolSeries1 (15+) *** Takdir merenggut segalanya sejak Ruby menginjak usia 15 tahun. Sewaktu menemukan profesi yang cocok, tidak terima saat toko tempat Ruby bekerja memecat...