"Kokoh, manusia diminta untuk berdiri sendiri. Menerapkan pembelajaran hidup di balik musibah yang terus menerjang."
UDARA dingin yang menyeruak dari dalam ruangan membuat kulit putih Ruby merinding tak terkendali. Aroma pengharum ruangan yang begitu menyejukkan memaksa Ruby untuk memejamkan matanya. Tadi saat Ruby berjalan-jalan di luar, udaranya sangat panas, berbeda dengan tempat yang sekarang ia kunjungi.
Seorang pria paruh baya yang melihat Ruby membawa kopernya masuk ke dalam minimarket lantas mengernyit, lalu menghampiri Ruby.
"Hei, kamu! Jangan menghalangi jalan para pelanggan," ujar pria paruh baya itu berseru, air mukanya menunjukkan rasa kesal kepada Ruby yang berkedip lugu sembari celingak-celingukan.
"Pak, tadi Ruby lihat di kaca ada lowongan pekerjaan. Ruby mau kerja di sini, Pak. Boleh, ya?" Gadis itu menatap pria di depannya dengan tatapan penuh harap.
Pria paruh baya yang berbadan agak bongsor itu menarik tangan Ruby dan mengajaknya duduk di depan minimarket agar tidak membuat risih para pelanggan. "Apa kamu sudah memenuhi syarat-syarat yang tertera?"
Ruby mengingat-ngingat kembali. Tadi saat ia melihat kertas itu, kurang lebih ada tiga syarat. Di antaranya, bisa bekerja dengan profesional, berumur 15-19 tahun, dan harus ramah tamah kepada pelanggan. Tentu saja Ruby sudah memenuhi semua syaratnya!
"Ruby udah menuhin semua syaratnya, kok, Pak. Jadi, Bapak harus nerima Ruby untuk kerja di sini!" Jujur saja, Ruby sangat berharap ia bisa bekerja di sini walau hanya sebagai pegawai minimarket kecil. Tidak apa, karena yang terpenting sekarang adalah, Ruby bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Memicingkan mata, pria itu lantas bertanya, "Kamu benar bisa diandalkan?"
Sejujurnya ia agak ragu dengan kemampuan Ruby. Melihat tingkah gadis itu yang menurutnya terbilang sangat muda membuatnya harus berpikir dua kali.
"Percayakan aja sama Ruby!" Gadis itu membusungkan dadanya sembari tersenyum lebar penuh percaya diri. Ruby percaya kalau ia bisa menjadi pegawai yang baik—setidaknya sampai uang yang ia kumpulkan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pria itu tampak menghela napas lalu berdiri dari duduknya—diikuti oleh Ruby. "Kebetulan salah satu pegawai saya sedang cuti. Jadi kamu bisa bekerja dari sekarang."
Senyum Ruby semakin lebar dibuatnya. Bukankah semakin cepat dapat bekerja, semakin cepat dapat uang? Baguslah!
"Wah, makasih, Pak." Ruby menundukkan badannya tanda terima kasih. Pria itu menggeleng dengan senyum kecil yang menghiasi wajahnya. Semoga mempekerjakan Ruby bukan pilihan yang salah. Pria itu yakin kalau Ruby adalah orang yang bisa diandalkan.
"Kalau begitu, kamu samperin aja anak cowok yang berdiri di pojokan, setelah itu minta seragam pegawai sama dia, ya." Pria itu menunjuk seorang laki-laki yang tengah tersenyum manis kepada pelanggan.
Ruby mengangguk antusias lalu melenggang memasuki minimarket. Gadis dengan rambut tergerai itu menghampiri seorang anak laki-laki yang dimaksud pemilik minimarket tadi.
"Salam kenal, Kak. Ruby pegawai baru di sini. Tadi Ruby disuruh minta seragam pegawai sama Bapak pemilik minimarket."
Laki-laki itu mengangguk singkat lalu menunduk untuk membuka laci-laci meja. Sebuah pakaian berwarna hijau muda yang masih baru, tetapi nampak kusut. Laki-laki itu menyodorkan seragamnya kepada Ruby. Ruby sendiri tampak senang menerima, lantas menciumi seragamnya seperti bajak laut yang baru saja menemukan harta karun.
"Eh, pegawai baru!" panggil laki-laki itu saat Ruby sibuk mengagumi seragam barunya. Ruby menatap manik mata laki-laki itu. Kilatan di matanya membuat Ruby takut. Apa laki-laki itu akan memarahi Ruby?
"Serius amat!" Terdengar gelak tawa yang begitu keras, membuat Ruby mengernyit tidak mengerti. Benar-benar aneh. Apakah dia sedang mengajaknya bercanda?
"Santai aja, kali. Nama gue Dilan, bukan Dilan-nya Milea, ya." Dilan terkekeh saat melihat Ruby masih belum mengubah ekspresinya.
"Kita seumuran, jadi jangan panggil gue Kakak."
"Ruby kira, tadi Dilan mau marah. Ternyata cuma bercanda. Serius, Ruby sempat takut." Ruby bernapas lega. Sepertinya Dilan ini tipe laki-laki humoris yang bisa mencairkan suasana.
Atensi Ruby beralih saat seorang pelanggan menghampirinya untuk membayar belanjaan.
"Tau cara makainya?" tanya Dilan saat melihat Ruby kelabakan sendiri.
"Bisa, kok, tenang aja." Ruby mulai menjalankan tugasnya sebagai kasir. Begitupun Dilan yang tak jarang curi-curi pandang ke arah Ruby—untuk memastikan gadis mungil itu bekerja dengan baik.
Semoga saja dengan Ruby bekerja di sini, ia bisa membeli rumahnya kembali. Selang beberapa lama, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore.
Ruby mengusap dahinya yang tak berkeringat. Pandangannya beralih saat mendengar suara riuh dari sebuah kafe yang terletak di seberang minimarket. Tampak segerombolan laki-laki yang sepertinya berasal dari keluarga berada— tengah tertawa dan bercanda. Ruby jadi iri saat melihatnya. Kira-kira kapan, ya, terakhir kali Ruby tertawa lepas? Mungkin sekitar satu bulan yang lalu? Entahlah, Ruby sudah lupa.
Ruby menajamkan penglihatannya saat melihat anak laki-laki yang berpenampilan paling mencolok di antara teman-temannya hanya diam tanpa ekspresi. Seolah-olah, mendengarkan lelucon teman-temannya itu hanya membuang-buang waktu.
Tanpa sadar, netra Ruby yang selalu berbinar bertemu dengan netra laki-laki itu. Tersentak. Dengan cepat, Ruby memalingkan wajahnya ke samping. Banyak orang bilang, cinta datang dari mata turun ke hati, dan Ruby belum siap untuk itu.
"Ruby harus fokus kerja, nggak boleh mikir yang lain!" Ruby mencubit pipinya agar bayang-bayang mengenai cowok itu hilang dari benak.
•••
Hari pertama masuk kerja ternyata tidak seburuk yang Ruby kira. Waktu-waktu yang Ruby habiskan di minimarket dihiasi dengan lelucon milik Dilan. Walau agak garing, entah kenapa Ruby selalu tertawa kala mengingatnya. Dilan memang memiliki bakat melawak yang luar biasa ... absurd. Ruby tertawa, jadi tidak sabar untuk bekerja besok.
Ruby menyeret kopernya untuk melanjutkan perjalanan pulang sebelum matahari tak lagi menampakkan wujudnya. Kalau boleh jujur, Ruby takut dengan kegelapan. Tapi sekarang, Ruby harus berani melawan rasa takutnya.
Jam setengah tujuh malam, Ruby baru sampai di depan pintu kos, gadis itu langsung masuk ke dalam dan merebahkan dirinya di kasur mini yang sudah tersedia di sana. Ruby memejamkan matanya sekilas. Meskipun menyenangkan, rasa lelah tetap ada. Biasanya, dulu sebelum Ruby hendak tidur, ayah dan bundanya pasti akan membacakan sebuah dongeng.
Momen-momen manis yang tak terlupakan itu membuat Ruby rindu. Dadanya sesak ketika mengingat kedua orang yang paling Ruby sayangi telah tiada.
Jika manusia diberi kekuatan untuk berpindah dimensi atau terbang ke langit, mungkin Ruby sudah bergegas menemui kedua orang tuanya. Ruby ingin memeluk mereka dan menceritakan semua keluh kesah yang selama ini Ruby pendam.
Walau sudah memiliki tempat kos yang cukup nyaman, tetap saja, rumah tempat Ruby berpulang adalah kedua orang tuanya. Semoga setelah ini, Ruby bisa menjadi gadis yang kuat dan bisa membanggakan orang tuanya. Ruby, berbahagialah.
"Ruby, lo udah makan?" Ruby yang mendengar suara pemilik kos ini mendongak untuk menyahut.
"Kakak!"
***
Dukung kami dgn memasukkan cerita ini ke perpus dan reading list ya. Jika ada kesalahan, tolong bantu koreksi 😊
Bakal lanjut update hari Kamis🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes ✓
Roman pour Adolescents°Budayakan vote dan follow° Writer by @HaifaKamila & @mdyunitaa #JewelHighSchoolSeries1 (15+) *** Takdir merenggut segalanya sejak Ruby menginjak usia 15 tahun. Sewaktu menemukan profesi yang cocok, tidak terima saat toko tempat Ruby bekerja memecat...