"Tulang rusukku yang hilang yakni kamu, seperti jantung yang butuh detak. Aku tak akan semudah itu melepaskanmu."
Sudah lima belas menit Varden duduk di kursi meja makan sembari mencengkeram kuat gelas yang ia pegang. Pikirannya berkelana, mengingat pesan Dave beberapa menit yang lalu. Laki-laki itu mengirimkan fotonya dengan Ruby yang sedang ada di dalam mobil, berdua. Terlebih lagi Dave mengatakan kepada Varden kalau dia sedikit tertarik kepada Ruby. Walau jarang bertemu, Varden tahu Dave itu seperti apa. Tidak, Dave tidak sama dengan Varden. Mereka jelas-jelas berbeda.
Sekarang Varden malah bingung kepada dirinya sendiri, untuk apa ia marah saat melihat Dave dan Ruby berduaan? Hei, bukankah sekarang sudah waktunya Varden melepas Ruby? Iya, kan?
"Sialan, semua cewek sama aja!" Varden melempar gelas yang ia pegang hingga pecah berkeping-keping.
Nah, sekarang siapa yang akan membersihkan lantai apartemennya? Tidak mungkin, kan, Varden menyuruh Ruby ke sini?
Varden memutuskan untuk pergi ke kamarnya sebelum mood-nya semakin buruk. Ia tidur terlentang di atas ranjang dengan tangan yang berada di atas perut. Tak lama kemudian, ponselnya tiba-tiba berbunyi, tanda ada pesan masuk.
Kelinci mini:
Varden, sekarang jadwal Ruby bersih-bersih di apartemen, kan?•••
"Astagfirullah, kenapa berantakan banget?!" Ruby mengelus dadanya pelan saat memasuki apartemen Varden yang seperti kapal pecah. Sampah kertas berserakan di mana-mana, pecahan kaca yang tertanggal di lantai, dan juga ... ke mana Varden?!
Ruby berjalan dengan menjinjitkan kaki, berniat mencari Varden ke ruang belajar cowok itu. Setelah sampai di sana, Ruby membuka pintunya dengan hati-hati, dan terlihatlah Varden yang tengah sibuk dengan dokumen yang ada di tangannya. Cowok itu terlihat seperti CEO yang berwibawa.
"Varden, kenapa di ruang tamu berantakan banget? Tadi ada maling, ya?" tanya gadis itu.
Membuat Varden yang tadinya tak sadar akan kehadiran Ruby, kini mendongak dengan tanda tanya besar di kepala.
"Varden, kenapa gak antar Ruby pulang?" Ruby bertanya lagi saat Varden tak menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Gue bukan supir lo!" Varden meletakkan dokumennya di atas meja. Tadi Fantasius sempat ke sini dan meminta Varden untuk mempelajari soal perusahaan yang akan cowok itu urus kedepannya.
"Nggak, sih." Ruby menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Ya udah, Ruby bersih-bersih dulu."
Setelah itu, gadis beriris secoklat madu itu menghilang dari balik pintu ruang belajar Varden. Setelah tiga puluh menit, gadis itu kembali menemui Varden dengan secangkir teh di tangannya."Varden, Ruby bawain minum," ucap Ruby lalu menaruh tehnya di atas meja.
Varden menarik napas, cowok itu masih saja teringat dengan Dave dan Ruby yang pulang bersama. Entahlah, yang Varden rasakan sekarang hanyalah amarah yang kian meluap.
"Lo sekarang jadi tunasusila, ya?" celetuk Varden tiba-tiba, Ruby mengernyit tidak mengerti.
"Maksud Varden?"
"Sejak kapan lo jadi cewek murahan?" Varden bersidekap di depan dada. Mulutnya ingin berhenti mengatakan hal-hal yang bisa menyakiti Ruby nantinya. Namun, dia tidak bisa, ada sesuatu yang terus mendorongnya untuk mengatakan hal itu.
"Apa lo gak malu sama diri lo sendiri?"
"Varden kenapa tiba-tiba ngomong gini?" Ruby mendekati Varden, hendak menyentuh pipi cowok itu, tetapi Varden dengan cepat menepisnya.
"Jangan pegang! Gue muak! Sekarang keluar." Ruby ingin segera menyela, tetapi sudah terlambat.
"Keluar, sampah!" Varden berteriak nyaring membuat Ruby berjengit kaget. Jantungnya hampir terlepas.
Mata Ruby memanas, dadanya seolah ditikam dalam oleh pisau belati mendengar bentakan bercampur makian Varden untuknya. Sama sekali tak menyangka cowok bertubuh jangkung itu justru berubah menjadi sosok yang kasar dan egois.
"Maaf kalo Ruby salah, Varden," lirihnya yang lagi-lagi dibuat terperanjat tatkala sebuah cermin terlempar ke arahnya. Beruntung, Ruby dapat menghindar secepat mungkin.
Dia tak paham. Apakah Varden berniat membunuhnya dengan benda tajam? Kalaupun iya, maka Ruby siap dan tabah menerima hukuman yang dianggap pantas untuk perilaku yang sekiranya keliru di penglihatan Varden yang akhir-akhir ini gampang meledak.
"Nggak apa-apa, Den. Lakuin aja kalo itu bisa bikin Varden maafin Ruby." Varden bergeming di tempat ketika tak sengaja melihat Ruby yang balik menatapnya sendu.
Jangan tatap gue dengan pandangan menyedihkan lo itu.
Dasar gadis picik. Dia memandang angkuh sebelum menendang Ruby keras sampai tubuh mungil yang rapuh tergeletak di lantai tak berdaya. Benar, memang sudah seharusnya begini. Varden dari awal memang membenci mahkluk bergender perempuan kecuali satu orang.
Sejak insiden kedua ibu dan anak lelaki di rumah Fantasius, emosi Varden semakin tak terkontrol karena dipancing trauma kuat dari kematian tragis seseorang yang teramat berharga di hidupnya.
Varden dahulu bersumpah tidak akan menampakkan ketertarikan dan perhatiannya terhadap gadis manapun. Namun, tempo hari terpaksa dia langgar karena situasi yang lebih merugikan dirinya.
Sepatutnya yang harus disalahkan adalah Fantasius yang tak kenal waktu selalu menekannya tiap hari. Memberikannya setumpuk buku tentang dunia bisnis agar bisa menjadikan Varden sebagai pewaris perusahaan yang dia kelola. Tak jarang pria tua itu ringan tangan ketika Varden membuat suatu pilihan di luar jalur.
Fantasius tak pernah menginginkan dan membiarkan Varden bebas memilih menentukan nasib ke depannya. Pria tua tak berperasaan itu sekalipun tak menunjukkan mimik penyesalan walau tangannya dikotori darah hasil perbuatannya.
"Lo pasti pernah bermain sama cowok-cowok di luar sana? Ngaku lo! Lo paling cuman berpura-pura nggak bersalah di depan gue!" Ruby menggeleng dengan air mata yang berlinang, menampik asumsi yang dilontarkan Varden.
"I know you're not a virgin, right? That's why you wanna be my fake girlfriend?"
Ruby tertohok mendengarnya. Tak menyangka bahwa tuduhan tak berdasar tertuju padanya yang bahkan punya niat untuk pacaran kecuali Varden dan dirinya. Itu adalah kasus yang berbeda!
Tidak, Varden salah paham!
Varden bukan tanpa sebab menuduh gadis itu sembarangan. Pasti ada hal lain yang menjadi pemicu. Ruby harus segera mengorek informasi sebelum hubungan berubah destruktif, tetapi apa yang bisa dilakukan?
Ruby berpikir dan tak menyadari kalau Varden sedang menggiring tubuhnya dan berniat mengunci di kamar mandi apartemennya.
Namun, cowok beriris hijau zamrud itu kalah cepat karena gadis itu langsung membanting pintu. Senjata makan tuan, Varden malah terkurung di bilik yang tadinya dibuat untuk mengurung Ruby. Keadaan yang berbanding terbalik. Dia tiba-tiba meninju pintu dengan brutal, melampiaskan segala kemarahan yang menguasai.
Ruby meringis. Semoga saja pintunya tidak apa-apa. Dia terpaksa melakukan ini agar Varden tak bermain fisik lebih jauh. Memakai cara yang cukup ekstrem ini.
"Maaf, Varden. Sementara di situ dulu sampe tenang, kita, kan, bisa ngomong baik-baik. Jangan lupa dinginkan kepala pake shower, ya!" Ruby berteriak dan melompat ke ranjang Varden sampai terlelap, lelah menunggu kekasih gilanya antap.
"Jangan main-main lo sama gue, cewek murahan!"
*****
Heihooo, maaf telat up. Jadi kemalaman, aku soalnya lagi ngerjain biologi disuruh gambar struktur tumbuhan morfologi, sebel😂Oh, ada cerita baru yg bakal nemenin hari kalian ke depannya. Saksikan 4 cerita di JewelHighSs_Projects
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes ✓
Teen Fiction°Budayakan vote dan follow° Writer by @HaifaKamila & @mdyunitaa #JewelHighSchoolSeries1 (15+) *** Takdir merenggut segalanya sejak Ruby menginjak usia 15 tahun. Sewaktu menemukan profesi yang cocok, tidak terima saat toko tempat Ruby bekerja memecat...