"Tuts-tuts piano berwarna hitam melambangkan kesedihan, sedangkan putih melambangkan kebahagiaan. Agar berjalan selaras, ibaratnya perlu menerima dan menjalani, bukan?"
KENANGA tersentak mendapati pelukan Ruby yang teramat mendadak. Akan tetapi, gadis yang berumur lebih tua dari Ruby ajek membalas pelukan erat itu.
Kenanga bisa merasakan suasana hati Ruby yang sedang tak baik. "Gue nggak bakal nanya lo kenapa, Ruby, tapi gue harap pelukan ini sedikit ringanin lo, ya."
"Thank you, Kak Ken. Makasih udah ngertiin Ruby, tau aja Ruby gak butuh ratusan motivasi bijak. Karena yang Ruby butuh satu pelukan udah cukup."
Kenanga menganggukkan kepala. Netra miliknya menatap aura yang menguar, warna abu-abu itu perlahan mengabur. Digantikan oleh warna merah muda yang bersahabat.
"Lo boleh sedih, tapi besok gue mau liat lo happy lagi, oke?" Ruby cengengesan. Kenanga tersenyum samar seraya mengelus kepala Ruby yang katanya sudah dianggap seperti adik sendiri, adik paling kecil di kos-kosan ini.
"Makasih, Kak, udah terima Ruby di sini. Ruby beruntung banget punya Kakak kayak Kak Ken."
"Eh, jangan ngomong gitu, dong! Gue malah senang lho, ada teman asyik yang bisa diajak ngobrol kayak sodara. Lo tau, 'kan, gue anak tunggal? Dan kemampuan gue ...." Ruby mengangguk, tak heran lagi dengan perkataan Kenanga yang terjeda, yang dimaksud itu adalah kemampuan psikologi yang dimilikinya.
Ruby sangat paham Kenanga termasuk salah satu orang yang tangguh sama seperti dirinya, bak teman seperjuangan. Kenanga anak yatim, sedangkan Ruby yang kehilangan satu-satunya keluarga menjadi sebatang kara. Dua orang yang berpotensi besar sebagai pendukung satu sama lain.
"Udah, ah, pelukannya ... gue masih ada kerjaan lain." Ruby cepat-cepat melonggarkan dan melepaskan pelukan, kemudian menggaruk pipi chubby-nya yang tak gatal.
"Nih, jangan malas. Gue nggak mau tau pas dicuci. Piring ini berkilat, wangi, dan harum! Awas aja kalo ngeles atau melas ke anak kos, mentang-mentang gue baik. Langsung gue gorok!" Ruby masam. Inilah sisi Kenanga yang tidak begitu disukai, walaupun demi kebaikan.
"Kak Ken galak banget," cibir Ruby cemberut setelah Kenanga menutup pintu kamar.
Gadis itu merebahkan badannya ke peraduan, mencari posisi ternyaman dan mengambil ponsel jadul yang seharian ini belum dibuka sama sekali. Baru saja Ruby mengaktifkan, terdengar suara getar yang disusul ikon aplikasi kalender di ponsel. Sedetik mengernyit, Ruby pun terperangah ketika berhasil mengingat tanggal yang tertampil di sana. "Ternyata udah saatnya, ya."
"Ruby memang ada kepikiran buat masuk SMA, cuman masalahnya Ruby nggak punya biaya sepeser pun." Ruby mengetuk-ngetuk jarinya di meja belajar, badan mungilnya mengayun indah di kursi putar.
"Kan, Ruby bisa minta bantuan dia besok. Ruby bisa minta dia buat cari guru yang ngajar dekat sini." Netra Ruby melebar, lantas bertepuk tangan sekali saat nama Dilan terlintas di kepala. Senyuman semringah terbit di bibirnya.
•••
Ruby mengayuh sepedanya dengan santai menuju tempatnya bekerja-dengan sebuah tote bag hitam yang menggantung di pundak kirinya. Gadis itu segera menyeberangi jalan dan masuk ke dalam minimarket yang tampak sepi. Seperti biasa, Dilan datang lebih awal daripada Ruby. Cowok itu memanfaatkan waktunya untuk bermain game selagi tidak ada pelanggan yang datang.
Minimarket yang terletak di depan kafe ini memang bisa dibilang sepi pelanggan. Mungkin karena tempatnya yang kecil dan tidak semua barang bisa dicari di sini.
Suara ribut dari arah luar membuat Ruby tertarik dan ingin beranjak dari duduknya. Saat Ruby hendak melangkah, Dilan lebih dulu menahan pergelangan tangannya. "Jangan keluar, nanti lo kena masalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes ✓
Teen Fiction°Budayakan vote dan follow° Writer by @HaifaKamila & @mdyunitaa #JewelHighSchoolSeries1 (15+) *** Takdir merenggut segalanya sejak Ruby menginjak usia 15 tahun. Sewaktu menemukan profesi yang cocok, tidak terima saat toko tempat Ruby bekerja memecat...