"Kita adalah sisa-sisa kepastian yang tak dipastikan."
Menguap. Netra Ruby mengerjap, mengembalikan penglihatan yang semula berbayang-bayang. Dia duduk sambil berusaha mengambil lagi kesadaran yang sempat hilang.Bisa disimpulkan Ruby ketiduran di ranjang senyaman dan seempuk yang tak lain dan tak bukan adalah milik seseorang yang telah bertahta tinggi di hatinya. Rasanya dia tak tahan untuk tak tersenyum bersalah.
Benci. Ruby benci pada dirinya sendiri karena bahagia sebab Varden membiarkannya begitu saja menumpang di apartemen. Merasa bersalah karena menguncinya semalaman penuh di bilik toilet.
Selang sedetik, Ruby tergesa-gesa membuka kunci kamar mandinya. Menemukan Varden yang tertidur dalam posisi yang tak mengenakkan. Dia menggigit bibir, menahan luapan sedih yang mengintai diri.
"Maaf, Ruby terpaksa."
Sepintas, dia mengusap rambut Varden yang basah bermandikan air. Lanjut menggulung baju kaosnya, lantas berkutat dengan bahan-bahan dapur. Memasakkan sarapan sebelum balik ke kost-kostan untuk mandi dan bersiap ke Jewel High School.
Ruby menuangkan mug berisi air yang dihangatkan, harum wangi teh mengepul saat meletakkannya di atas meja makan beserta pastry yang baru selesai dipanggang. Berdasarkan data artikel yang dibacanya, pastry merupakan salah satu makanan yang cocok sebagai teman minum teh.
Bunga yang segar apa lagi kalau ditambahkan madu atau jus lemon, dahaga pasti akan langsung hilang saat itu juga. Minuman yang menjadi kenang-kenangannya dengan sang bunda, Lilian selalu menyeduhkan obat herbal itu di kala Ruby memerlukan penenang.
Kebetulan, kulkas Varden memiliki bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat makanan ringan ini. Ruby tentu paham sekali rasa favorit atau yang dibenci oleh lelaki yang tengah mendengkur di bathtub. Gadis itu, kan, sudah mengiringi langkahnya selama kurang lebih lima bulan lamanya.
Selama itu pula hubungan mereka hanya berjalan di tempat, bahkan berada di ambang batas toxic.
Sejujurnya, jika Ruby membayangkan akan melepaskan Varden suatu hari nanti ... meski cowok itu selalu bersikap posesif padanya jika ada lelaki selain dia mendekat. Mau bagaimanapun, Ruby telah jatuh. Jatuh pada pusaran candu tidak berujung milik Varden mengikatnya sampai kepayahan jika dihadapi dengan perpisahan.
Dia akan berusaha membuat perasannya terbalaskan entah kapan, Ruby belum ingin menyerah. Tiada yang mustahil di dunia ini. Sudah tugasnya untuk berencana. Sisanya kembali ke hakim paling adil, Tuhan yang pandai membolak-balik hati ciptaan-Nya.
"Ruby pasti bisa!" Gadis dengan rasa optimis yang tinggi itu mengepalkan kepalan tangan seakan meninju udara, bersemangat untuk menaklukan hati beku milik Varden yang mungkin belum pernah terjamah.
Dia tak masalah jika hatinya akan mencair lima atau sepuluh tahun lagi, asal Varden tak memintanya untuk pergi, bosan melihat wajah, atau sudah menemukan tambatan hati yang lain. Ruby akan bertahan.
Memang kodratnya cowok yang mengejar cewek, tetapi sekarang zaman emansipasi wanita—sudah biasa kalau cewek yang mengejar cowok duluan. Buktinya ada teman Ruby yang berhasil meluluhkan hati keras seorang cowok yang malah cinta mati pada temannya.
Ruby merasa iri tentunya karena dia pun mengalaminya saat ini. Ugh, dia berharap perjuangannya akan menghasilkan keajaiban seperti perkataan Mutia yang menceramahinya hingga mengadakan seminar tentang resep-resep tentang menghadapi sifat-sifat menyebalkan rata-rata lelaki.
Ruby tersenyum, sarat akan makna. Menghampiri sang kekasih, segera mengejutkannya agar tak terlambat sekolah. Dia harus agresif sesuai saran Mutia, agar Varden tak bosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes ✓
Teen Fiction°Budayakan vote dan follow° Writer by @HaifaKamila & @mdyunitaa #JewelHighSchoolSeries1 (15+) *** Takdir merenggut segalanya sejak Ruby menginjak usia 15 tahun. Sewaktu menemukan profesi yang cocok, tidak terima saat toko tempat Ruby bekerja memecat...